Mengisi Kekosongan Pembimbing Agama yang Terlatih

0
284
Dr. Abdul Chalik; Instruktur PKU-2 MUI Gresik

Selama tiga hari, 18-20 Nopember 2022, Majelis Ulama Indonesia Gresik menyelenggarakan Pelatihan Kader Ulama (PKU) di Pesantren Mambaus Sholihin Suci Gresik. Kegiatan serupa pernah dilakukan setahun yang lalu. Perbedaannya, PKU tahun ini berada di level dasar atau disebut ‘Ula. Sementara tahun lalu level Wustho atau level menengah.

Sebagaimana dijelaskan oleh Ketua Umum Kyai Mansoer saat pembukaan, bahwa kegiatan PKU dalam rangka untuk menyiapkan kader ulama muda yang memiliki kemampuan dan keterampilan sebagai pembimbing agama.

Secara praktis pembimbing ulama dibutuhkan dalam kehidupan keseharian umat misalnya imam sholat, khotib, perawatan jenazah hingga konsultasi masalah ibadah. Penyiapan pembimbing agama yang terlatih tetap menjadi domain penting dalam rangka menjaga regenerasi ulama’ senior yang mulai udzur atau bahkan meninggal dunia.

Materi PKU level Ula meliputi Keislaman-1 (Fikih dan Tauhid), Keislaman-2 (Akhlak-Tasawuf), Public speaking, Pelayanan keagamaan hingga dakwah transformatif. Komposisi materi 50 % teori dan 50 % praktik. Peserta tidak hanya hanya dibekali pengetahuan kognitif tetapi juga keterampilan teknis yang dibimbing oleh instruktur berpengalaman. Selain itu juga ada materi field study atau melihat, mengamati dan menilai beberapa praktik keagamaan di beberapa Masjid di Kabupaten Gresik. Adapun nara sumber dari kalangan ulama yang sudah ternama seperti Kyai Ainul Yakin, Kyai Fathoni Muhammad, Prof Abdul Kadir Riyadi hingga Ust. Dr. Mim Syaiful Hadi.

Banyak yang bertanya, mengapa MUI merasa perlu menyelenggarakan PKU, seberapa pentingkah kegiatan ini untuk kemaslahatan umat? Saya sejak kecil dididik dalam lingkungan agama yang ketat. Lulus SD sudah dihantarkan ke pondok oleh orang tua hingga lulus PGA atau setingkat SMA. Sejak di pondok sudah terbiasa menjadi imam, memimpin tahlil bahkan kegiatan pengajian. Saat kuliah hingga sekarang kegiatan memimpin tahlil, khobah jumat, membantu perawatan jenazah hingga imam sholat sudah sering dilakukan. Namun apa yang dilakukan hanya mengikuti apa yang sudah dilakukan oleh guru dan kyai-kyai saya. Ketika mereka menjadi imam dan khotib misalnya, saya tiru ‘apa adanya’ tidak lebih tidak kurang. Hanya sesekali mencari tambahan informasi hasil bacaan beberapa kitab atau googling—dalam bahasa anak sekarang. Tidak ada yang menilai apakah cara saya menjadi imam, khotib, memimpin yasin dan tahlil sesuai dengan kaedah yang benar atau belum. Tidak ada yang menegur. Kecuali istri saya yang komplain ketika bacaan saya kurang fasih, melompat dari zikir yang biasanya atau intonasi suara yang kurang kuat.

Saat berbicara dengan banyak teman, pengalaman yang saya dapatkan juga sama. Sama-sama alumni pesantren dan sama-sama menjadi pembimbing agama di masyarakat namun hanya berbekal ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi) dari guru-gurunya di pesantren. Bahkan ada beberapa teman yang sama sekali tidak pernah di pesantren namun menjadi pembimbing agama. Mereka lulusan sekolah-sekolah umum dan hanya berbekal ATM dan googling materi yang instan.

Jadi—saya dan teman-teman saya yang alumni pesantren mengalami nasib yang sama. Eto’-eto’e paling hebat dan terampil saat berada di mimbar dengan pegang mic suara keras namun cara bacaan, struktur dan sistematika hingga etikanya belum tentu terstandarkan. Belum pernah ikut pelatihan dan teruji kehebatannya sudah berani memimpin acara keagamaan rutin di perkampungan. Terbentuk karena keadaan dan alamiah (seleksi alam) buka karena dipersiapkan menjadi pembimbing agama. Untung saja ada buku panduan dan untung pula memiliki sanad jelas kepada ulama dan kyai siapa contoh yang ditiru.
By the way, alumni pesantren–seperti saya ini memang harus siap dalam segala kondisi apalagi sudah berada di tengah masyarakat. Itu yang ditanamkan oleh kyai saat masih ngaji bersamanya. Apalagi setelah dari pesantren kuliah di IAIN atau UIN.

Masyarakat menganggap semua alumni IAIN atau UIN bisa ngaji dan paham agama. Padahal belum pasti. Tetapi seyogyanya kenekatan juga disertai dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai.
Perkiraan saja, apa yang saya alami dan teman-teman itulah yang mendorong MUI menyelenggarakan kegiatan PKU ini. PKU diharapkan melahirkan pembimbing agama yang bukan hanya bermodalkan nekat—seperti saya—tetapi juga disertai pengetahuan dan keterampilan teknis. Pembimbing agama bukan hanya pinter ngimami sholat dan memimpin tahlil tetapi juga dapat beradaptasi dengan kebutuhan saat ini terutama generasi milenial yang cenderung kritis dan instan. Pembimbing agama bukan hanya paham agama tetapi juga memiliki cara menyampaikan pesan agama ke semua segmen masyarakat.

PKU diharapkan mengisi kekosongan pembimbing agama yang terlatih. Apalagi tantangan dari kelompok tertentu yang memanfaatkan media internet untuk menyebarkan informasi kepada umat. Selamat untuk teman-teman peserta yang menjadi bagian dari PKU ini. Anda adalah generasi muda hebat yang siap menjadi teladan dan pembimbing keagamaan umat.Dr.Abdul Chalik