Soal Rizki, Jangan Pernah Berkompetisi.

456
1849

Seorang lelaki tercebur ke dalam sebuah sumur tua. Saat itu ia sedang berjalan di padang pasir, dan dirinya tidak begitu mengenal daerah itu. Lelaki itu lalu berteriak minta tolong yang suaranya didengar penduduk setempat. Warga yang tinggal di dekat sumur itu pun menolongnya. Mereka mengeluarkan lelaki itu dari dalam sumur. Setelah terangkat dan berada di atas, salah seorang warga memberikan segelas susu pada lelaki itu. Iapun meminumnya sampai tandas.

“Bagaimana ceritanya, kok sampean bisa sampai terjatuh ke dalam sumur ini?” Tanya salah seorang warga setelah lelaki itu mereguk habis susu yang diberikan padanya.
“Begini ceritanya”, jawab lelaki itu sambil melangkah agak mundur sebab ia hendak sedikit memperagakan cerita asal mula kejatuhan dirinya ke sumur. Namun kaki lelaki itu kembali terpeleset dan untuk kedua kalinya dirinya terjerembab ke sumur tua itu. Tidak seperti jatuh yang pertama, kali ini lelaki itu meninggal dunia. Saat pertama kali terjatuh lelaki itu tidak sampai meninggal dunia. Mengapa? Sebab masih ada jatah rizkinya yang belum dia ambil, yakni segelas susu. Namun ketika segelas susu itu sudah dia minum, dalam arti jatah rizkinya di dunia ini sudah habis, maka dia pun meninggal dunia.

Itulah salah satu cerita yang disampaikan Syaikh Ali Jabir dalam ceramahnya di masjid agung Gresik. Pada acara Tabligh Akbar dan wakaf Al-Qur`an Braile yang diselenggarakan Yayasan Nurul Hayat yang bekerja sama dengan Masjid Agung Gresik. Kegiatan dakwah itu diselenggarakan pada hari Sabtu, 7 Maret 2015 dan dihadiri ratusan umat islam.

Syaikh Ali Jabir lebih jauh menjelaskan, bahwa kita umat islam tidak usah terlalu risau dengan masalah rizki. Sebab rizki itu sudah ditetapkan dan tidak mungkin salah alamat. Upaya untuk menjemput rizki memang harus tetap dilakukan tapi tidak boleh dengaan sikap terburu-buru dan mati-matian. Dalam istilah Jawa “Ngoyo lan keloro-loro”. Apalagi sampai harus berkompetisi dengan saudara sendiri.

Antara famsyu, wasari`u dan fastabiqu
Di dalam kitab suci Al-Quran, Allah memerintahkan kita untuk bergerak menyongsong rizki. Tidak berdiam diri serta berpangku tangan, sembari berharap rizki akan jatuh dari langit. Nelebok dengan mekanisme mak bedunduk di hadapan kita. Namun yang juga tidak boleh dilupakan bahwa redaksi perintah yang digunakan Allah untuk segenap hamba-Nya dalam konteks mencari rizki adalah famsyuu (maka berjalanlah). Bukan wasaari`u (bersegeralah) atupun fastabiquu (maka berkompetisilah).
Ketiga kata tersebut memiliki makna berbeda dan seharusnya dipahami sesuai konteksnya.

Berusaha untuk mencari rizki memang diperintahkan Allah, namun perlu diingat bahwa bentuk redaksional dari perintah untuk berusaha itu adalah famsyu berjalan pelan-pelan. Fisik dan pikiran berusaha tapi tetap dalam koridor ketenangan hati. Sebab di dalam hati yakin kalau rizki setiap makhluk yang ada di bumi sudah dijamin oleh Allah, dan jatah rizki tidak mungkin serta tidak akan pernah salah alamat.

Namun lain halnya saat kita hendak meminta ampunan pada Tuhan saat terjadi suatu tindak dosa yang kita lakukan. Dalam hal ini kita tidak boleh berjalan dengan tenang, apalagi sampai harus menunda hingga datang waktu yang tepat. Dalam masalah menyongsong ampunan, Al-Qur`an dengan jelas memerintahkan kita untuk bergegas dan bersegera. Dengan bentuk redaksional “wasaari`u” bersegeralah. Jadi, Ojo ngoyo yen wektu dole`k Upo. Ngoyo lan cepet-cepeto yen wektu jaluk sepuro.

Memang, Allah dalam salah satu ayat Al-Qur`an memerintahkan kita untuk berlomba-lomba. Berkompetisi dan saling mendahului. Tapi perintah untuk berlomba-lomba ini bukan dalam soal mencari rizki atau mengumpulkan harta kekayaan. Perintah untuk berkompetisi adalah dalam konteks berbuat kebajikan. Fastabiqu al-khairat, maka berkompetisilah dalam amal kebajikan. Berlomba-lombalah dalam melakukan amal kebaikan.

Jika ada saudara kita yang bersedekah, tidak ada salahnya jika kita berlomba-lomba dengannya. Saat kita melihat ada saudara kita yang rajin menjalankan shalat berjamaah di masjid, sangat dianjurkan kita melakukan kompetisi dengannya dalam melakukan kebaikan itu.

Ironisnya, banyak dari kita yang menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Menjalankan perintah Allah namun belum tepat konteksnya. Tegang dan khawatir dalam soal mencari rizki, yang jelas-jelas sudah dijamin oleh Allah, tapi tenang-tenang saja saat seharusnya memburu ampunan dari Allah. Kita bahkan seringkali menunda-nunda meskipun kita sudah hafal di luar kepala selarik Wise-word yang tertera di bagian bawah buku tulis yang bunyinya Don’t wait until tomorrow what you can do now !. Betapa sering kita mendengar ungkapan, “Ah nanti saja kalau sudah tua saya akan rajin sembahyang” atau ungkapan “Nanti saja kalau saya sudah jadi jutawan maka saya akan gemar bersedekah.”

Kita juga tidak berlomba-lomba dalam masalah yang seharusnya kita melakukannya, yakni dalam soal menjalankan kebaikan. Saat melihat saudara kita yang melakukan kebaikan, bukannya muncul semangat kita untuk berkompetisi dengannya. Malah kita sibuk mencari alibi untuk membenarkan sikap kita. Muncullah ungkapan-ungkapan semisal, Lebih baik sedekah sedikit tapi ikhlas daripada banyak tapi tidak ikhlas. Seakan-akan kita bisa melihat keikhlasan seseorang yang sedang beramal baik. Padahal sikap seperti ini, menurut Ibnu Athaillah as-Sakandari di dalam Al-Hikam, adalah salah satu indikasi kuat dari kebutaan mata hati.
“Kesungguhanmu meraih apa yang sudah dijamin sampai kepadamu, serta keteledoranmu terhadap kewajiban yang diamanatkan kepadamu adalah bukti dari kebutaan mata hatimu” ( Ijtihaduka fima dlumina laka wa taqshiruka fiima thuliba minka dalilun `ala an-Thimasi al-Bashirah minka).

Di bagian akhir dakwahnya, Syaikh Ali Jabir memberikan amalan kepada segenap umat islam yang hadir agar tidak sering-sering jatuh ke dalam perbuatan dosa. Selain segera istigfar dan mohon ampunan Allah. “Saya ingin kasih satu amalan agar kita tidak gampang terjatuh dalam perbuatan dosa. Tidak mudah melakukan perbuatan maksiat. Begini, niatkan dengan sungguh-sungguh, ketika selesai melakukan satu kesalahan langsung ikuti dengan sedekah. Sesuai dengan kemampuannya. Berbuat dosa satu kali langsung masukkan uang ke dalam kotak amal. Nanti kalau berdosa lagi masukkan lagi. Begitu terus, Insyaallah akan mengikis kebiasaan kita berbuat dosa”, papar dai yang telah menulis buku berjudul Cahaya dari Madinah itu.

By : Ahmad Rofiq

Comments are closed.