Enerji Onde-Onde Ngentit

963
3094

Lagi-lagi ada yang berubah dalam diri Kiai Tamijo. Selain kebiasaannya cangkruk di warung kopi, yang sempat jadi rasan-rasan banyak orang, Kiai Tamijo kini suka membumbui dakwah dan orasi spiritualnya dengan istilah-istilah asing yang sering membikin jidat para audien berkerut. semisal klarifikasi, ekpektasi, fluktuasi, turbulensi dan sebagainya. Untuk mengatakan “pinggiran kali” saja kini kiai Tamijo sudah jarang. Sebagai gantinya, kiai yang istiqomah memakai songkok hitam lawas itu mengatakan “marginal sungai”. Saat ada salah satu orang yang mempertanyakan kesukaannya nongkrong di warung kopi, maka dengan enteng saja Kiai Tamijo menjawab. “He..he..he. Begini loh, Cak. Tak kasih klarifikasi. Kalau warkop atau emperan pasar tidak saya sambangi dan saya beri atensi, lalu siapa yang akan berdakwah di situ. Para pelaku dakwah di masjid, majlis taklim, pesantren, musolla itu kan sudah banyak. Untuk tempat-tempat yang marginal, biar saya saja yang ngurusi.” “Tapi, Kiai. Kan tidak pantas seorang kiai seperti jenengan ini pagi-pagi sudah metangkring di warung kopi?” “He..he..he. Hidup itu kan pilihan. Cara menjalaninya juga pilihan. Mau dijalani menurut penilaian manusia (`indannas) atau kita jalani semata-mata berdasarkan penilaian Allah (`indallah). Tapi setiap pilihan akan melahirkan konsekuensi. Ini yang tidak bisa bebas memilih lagi. Mungkin saja kebiasaan saya di warkop ini tidak pantas menurut manusia, tapi dalam pandangan Allah kan boleh jadi baik serta diridloi he..he..” Dan pagi ini, kembali Kiai Tamijo sudah terlihat di sebuah warkop di pinggir jalan. Bertukar pikir dengan seorang lelaki paro baya tentang halal dan haram. “Kiai, sebenarnya apa bedanya onde-onde` yang didapat dengan cara mengentit dan onde-onde` yang didapat dengan cara membeli. Kan sama-sama enaknya saat dikunyah?” kata lelaki yang dikenal makelar batu akik itu. “He..he..he. jelas berbeda, Kang,” jawab Kiai Tamijo setelah menyeruput kopinya. “Begini, Kang. Setiap benda termasuk makanan memiliki energi atau aura. Termasuk diri kita. Nah, ketika benda itu diperoleh dengan cara yang tidak benar maka energi positif yang ia miliki akan hancur. Auranya pecah dan berubah jadi energi negatif. Kemudian jika masuk ke dalam tubuh kita akan merusak energi positif kita. Aura kita jadi terkontaminasi dengan aura negatif onde-onde hasil ngentit itu. Jadi tidak sama dong onde-onde hasil colongan dengan onde-onde yang halalan toyyiban. Bedanya sangat jauh, bainassama` wa sumber minyak, Kang” “Loh, bentuk fisiknya kan tetap sama, kiai. Sama-sama Onde-onde yang bulat dan empuk?” “He..he..he. Itu kan materi fisiknya yang tetap sama. Visible matter-nya yang bisa kita lihat dengan mata telanjang. Akan halnya energi dan aura yang merupakan invisible matter sangat berbeda. Very-very different, Kang.” Lanjut kiai Tamijo sambil memungut sebongkah ote`-ote dan memakannya. Mendengar penjelasan Kiai Tamijo, lelaki makelar batu akik itu terlihat sesekali manggut-manggut. “O begitu to, Kiai. Tapi ..?” “Yaiyalah. What more?” sahut kiai Tamijo “Kok pertanyaan saya tentang onde-onde` melahirkan jawaban yang begitu jlimet. Malah ada yang berkaitan dengan energi, aura dan…emm impossible matter ?” “Bukan impossible, Kang tapi invisible alias tidak terlihat.” “O ya, Kiai. Pokoknya sibel..sibel itu. Kok bisa begitu pak kiai?” “Itu bedanya zaman dulu dan sekarang. Dulu sumber dan referensi materi dakwah terbatas dari penjelasan para ulama, para alim allamah dan para guru. Juga buku dan kitab-kitab klasik yang mereka tulis. Kalau zaman modern ini tambah satu lagi sumbernya.” “Apa itu, Kiai?” “Al-`allamah Mbah Gugel.” Redaktur Majalis MUI Gresik

Comments are closed.