Suatu ketika seorang lelaki yang berprofesi sebagai peminta-minta datang ke tempat Nabi Muhammad SAW. Karena saat itu pertama kalinya ia datang maka Nabi pun memberinya makanan seadanya. Ternyata, keesokan harinya orang itu datang lagi. Seperti sebelumnya, dia meminta lagi. Kebetulan waktu itu Nabi tidak memiliki persediaan makanan yang dapat beliau sedekahkan kepadanya. Nabi kemudian bertanya kepada sahabat lain yang saat itu berada di sana. Salah satu sahabat memberi lelaki peminta-minta itu.
Di hari berikutnya, orang ini datang dan meminta lagi. Rupanya Nabi mulai merasa penasaran mengapa lelaki itu kok selalu datang dan meminta-minta melulu. Nabi pun dengan lemah lembut bertanya,
“Apakah kamu tidak mempunyai pekerjaan sehingga setiap hari meminta-minta?”
“Benar Nabi. Saya tidak mempunyai pekerjaan.”
“Keluargamu ada?”
“Ada Nabi, saya punya istri dan anak.” jawab orang itu enteng
“Lalu anak dan istrimu kamu hidupi dengan apa?” tanya Nabi sedikit menyelidik
“Ya, dengan meminta-minta ini” jawab pengemis itu tanpa beban. Ternyata mengemis telah jadi profesinya
“Apakah tidak sebaiknya kamu bekerja?” lanjut Nabi
“Saya tidak punya modal, wahai Nabi.”
“Adakah kekayaanmu yang bisa dijual untuk dijadikan modal?” tanya Nabi selanjutnya
“Tidak ada, Nabi.”
“Benar tidak ada satupun barang yang kau miliki dan bisa kamu jadikan modal? misalnya selimut atau lainnya?” Tanya Nabi
Akhirnya orang itu mengaku
“Ah, saya hanya punya sebuah gentong (tempat air), Nabi.”
“Nah, itu saja yang dijual.” Kata Nabi
“Siapa yang akan membeli, wahai Nabi?”
“Kalau begitu” lanjut Nabi “Bawalah barang itu kemari. Kalau boleh saya yang akan menjual dan hasilnya kamu pakai modal kerja.”
Orang itu lalu pulang untuk mengambil tempat air itu. Ia membawanya ke hadapan Nabi. Beliau lalu meletakkan benda itu di hadapannya dan berkata pada para sahabat beliau
“Siapa di antara kalian yang mempunyai kelebihan uang untuk membeli gentong temanmu ini? Biar bisa dijadikan modal kerja”
“Berapa harganya, Nabi?” Tanya salah satu sahabat
“Saya tidak bsia menentukan harganya” kata Nabi “tapi siapa yang berani menawar paling tinggi, itulah harganya.”
Beberapa saat kemudian gentong itu terjual. Nabi lalu menyerahkan hasil penjualan kepada orang tersebut sambil berpesan
“Gentongmu sudah laku, tetapi uangnya jangan kamu habiskan semuanya. Separuhnya serahkan apda istrimu untuk kebutuhan makan beberapa hari. Separuh lagi belikan tali dan sebuah kapak. Setiap pagi bawa tali dan kapak itu ke gunung untuk mencari kayu bakar. Kemudian kayu bakar itu kamu jual ke pasar. Uangnya kamu simpan (tabung) dulu. Nah, beberapa hari lagi, datanglah kepadaku.”
Setiap pagi orang itu tidak lagi terlihat meminta-minta. Sebagaimana pesan Nabi, ia berangkat ke gunung untuk mencari kayu bakar lalu dijual ke pasar. Belum genap satu bulan orang itu sudah kembali lagi kepada Nabi
“Nabi, saya sudah dapat kerja.” Kata orang itu bangga
“Dapat uang?” kata Nabi
“Dapat”
“Berapa banyak yang dapat kamu kumpulkan selama satu bulan?” Tanya Nabi selanjutnya
“Ternyata cukup untuk makan dan membeli sebuah gentong baru.”
Inilah salah satu cuplikan kisah yang diangkat Profesor Tolchah Hasan dalam bukunya yang berjudul Dinamika Kehidupan Religius. Ketika beliau menjelaskan tentang etos kerja dalam islam. Begitulah, islam mengajarkan pada para pemeluknya untuk memiliki etos kerja dan kemauan untuk berusaha. Bukan orang-orang yang bermental pemalas lalu menjadi beban bagi orang lain. Padahal secara fisik dia tidak memiliki alasan untuk hanya duduk sambil menengadahkan tangan untuk mencukupi kebutuhan.
Ya, alangkah sedihnya bila menyaksikan begitu banyaknya pengemis. Berkeliaran di jalan-jalan dan tempat-tempat keramat yang biasa dilalui banyak orang. Mereka siang dan malam hanya menengadahkan tangan. Lebih menyedihkan lagi profesi itu seringkali bukan karena faktor keterpaksaan. Pernah saya melintasi sebuah jalanan kecil yang dipenuhi para pengemis. Salah satu pengemis menggenggam sebuah handphone baru yang dia sembunyikan di balik sarung kumalnya. Ketika saya lewat di dekatnya dia langsung menengadahkan tangan sambil berkata yang dia bikin se-melas mungkin, “Sedekahnya, Mas. Kasihanilah saya, Mas.” Padahal saat itu saya masih belum mampu membeli sebuah handphone.
Memang ada orang yang memang terpaksa harus menengadahkan tangan. Kita bisa memaklumi kondisi tersebut. Tapi bila motivasinya dalam meminta-minta hanyalah sikap mental dan keengganan untuk bekerja, kita hanya bisa mengelus dada. Sebagai sesama umat islam kita memiliki kewajiban untuk mengingatkan mereka. Sebab ternyata islam bukan agama yang menganjurkan para pemeluknya menjadi orang yang tidak memiliki motivasi dan etos kerja. Seorang muslim harus menjadi orang yang memiliki etos dan motivasi kerja yang kuat. Cuma harus disadari bahwa motivasi bekerja antara seorang muslim tidak sama dengan lainnya.
Motif bekerja dalam islam tidak sama dengan etos kerja ala Barat yang sifatnya menghasilkan sebanyak-banyaknya harta atau mendapatkan produktivitas yang tinggi. Ciri utama etos kerja dalam islam adalah terpenuhinya empat syarat, yaitu: pertama, mencari pekerjaan dengan cara halal (thola al-dunya halalan), kedua tidak meminta-minta (ta`affufan `ani al-mas`alah), ketiga untuk mencukupi kebutuhan keluaraga (sa`yan ala `iyalihi), keempat belas kasihan pada tetangga (ta`athufan ala jaarihi).
Inilah empat motivasi bekerja dalam islam, yang salah satunya adalah menjaga harga diri agar tidak sampai menjadi beban bagi orang lain. Menjadi peminta-minta atau pengemis dan seringkali membawa implikasi negatif bagi agama. Misalnya stereotipe yang disematkan pihak luar pada islam sebagai agama yang mengajarkan para pemeluknya untuk senang berpangku tangan. Jangan sampai kemuliaan dan keluhuran islam justru dikaburkan oleh ulah dan tindakan beberapa pemeluknya yang justru tidak mencerminkan keluhuran islam. Jika demikian, tidak keliru apa yang pernah diungkapkan Muhammad Abduh, bahwa keluhuran Islam seringkali dikaburkan oleh tindakan para pemeluknya (al-islamu mahjubun bi al-muslimin).
Wallahu `alam bisshowab
*by, Ahmad Rofiq
Comments are closed.