Terima Kasih Syetan; Catatan dari Mina

0
193
Dokumentasi Prof. Dr. H. Abdul Chalik, M.Ag saat melakukan ibadah haji 1444 H.

Abdul Chalik
Guru Besar dan Dekan Fisip UIN Sunan Ampel Surabaya

Di catatan sebelumnya saya menulis tentang ‘Wukuf dan Titik Balik Kehidupan’. Manusia sudah kembali ke titik awal kehidupan saat wukuf. Sifat kebinatangan manusia secara perlahan berkurang dan bahkan lenyap karena iktikad kuat dan ampunan Allah SWT saat wukuf.

Rasa sombong, dengki, menang sendiri, merasa dirinya hebat dan paling jago berkurang dan bahkan hilang saat wukuf. Allah membalikkan kehidupan manusia menjadi sosok yang santun, peduli, ramah dan semakin kuat keimanan dan ketaqwaannya.

Tetapi haji mengajarkan bukan hanya di titik itu. Godaan dunia terus menerus mengejar manusia. Tiap saat pengganggu akan datang untuk mengajak lagi insan yang sudah insaf itu untuk kembali menjadi durjana. Mereka terus mengganggu hambanya yang sudah diampuni oleh Allah SWT.

Pengganggu itu bernama syetan dan iblis. Makhluk Allah al-rajim (terkutuk) yang sengaja diciptakan menjadi perusak iman bagi yang kurang kokoh.

Iblis makhluk Allah tetapi ia tidak mau kompromi dengan manusia karena merasa dirinya hebat. Ana kharum minhu (aku lebih baik darinya/Adam), katanya. Khalaqtani min naarin wa khalaqtahu min tiin ; al-A’raf : 12, (aku diciptakan dari api, sedangkan dia dari tanah). Iblis merasa sombong.

Dalam kenyataannya, Iblis mewujud dalam dua bentuk yakni yang tidak terlihat dan yang tampak. Yang tidak terlihat bermuka jelek yang digambarkan sebagai aduwwum mubin (musuh yang jelas). Mereka datang tiap saat di saat insan pilihan sedang mendekat kepadaNya, atau di tiap semua kebaikan yang hamba lakukan. Mereka membisiknya. “Jangan lakukan bro, ora penting. Ngapain lho bantu orang, ngasih anak yatim dan fakir-miskin, jangan, toh mereka setelah ini melupakanmu”, bisikan Iblis itu.

“Kamu gak usah ke Masjid, itu enggono sing tuwo-tuwo. Ayo terusno main hapemu sampe blenger”, goda syetan. “Hehe..mbah gak usah ke Masjid, matimu sik suwi”, bisik syetan tiap saat.

Ada pula syetan yang jelas dan telanjang. Uang, jabatan, kekayaan dan perempuan, maupun bentuk lain yang menyengsarakan. “Ayo mumpung awakmu duwe jabatan. Kapan lagi. Anggaran kan bisa diatur. Bakal cepet tuku Fortuner”, bisik seseorang pada makhluk beriman. “Ayo kapan maneh selingkuh. Gak ngiro onok sing ngerti. Eman duitmu lo…”, begitu syetan yang seliweran kanan-kiri.

Syetan yang terlihat memang tak kalah ganasnya dengan yang tidak terlihat. Nyamar tapi pasti. Kadang menakutkan syetan ini dalam wujud manusia, yang menyerupai orang-orang yang dekat dengan kita.

Syetan yang tidak terlihat harus dilawan jangan dibiarkan mengelilingi kita. Ya dilawan.

Lempar jumrah; ula, wustha dan aqabah merupakan upaya simbolik melawan syetan. Iktikad manusia untuk terus melawannya.

Ritual simbolik melawan syetan dimulai dari mancari kerikil di Muzdalifah lalu bermalam 2-3 hari di Mina untuk lempar jumrah.

Sebegitu pentingkah melawan syetan sehingga patut diritualkan sampai 2 bahkan 3 hari?

Banyak hikayat selain cerita godaan syetan pada Nabiyullah Ibrahim dan Ismail yang menjadi cikal bakal lempar jumrah. Banyak cerita membangun karir dari bawah dan ketika sampai di puncak tergelincir masuk penjara (dunia). Belum di penjara akhirat lho. Banyak pula tokoh berkaliber jatuh gara-gara syetan lipstik, bedak, tampang cantik, tubuh aduhai. Banyak rumah tangga hancur karena tak mampu melawan syetan, entah itu berupa manusia maupun yang lain.

Meski demikian keberadaan syetan juga penting. Merekalah yang menguji kadar keimanan dan ketaqwaan seseorang. Persis seperti anak sekolah, ada kalanya yang lulus dan ada pula yang tidak lulus. Kita dibantu oleh syetan-syetan itu untuk menimbang kadar kita.

Syetan juga sebagai penyeimbang. Kontrol antara kabaikan dan kedurjanaan itu memang perlu bagi manusia, agar tidak kebablasan.

Satu sisi syetan kita lawan tapi di sisi lain keberadaannya sebagai kontrol agar manusia senantiasa mawas diri dan waspada. Ia dapat mendinamisir kehidupan.

Patut rasanya ‘berterima kasih’ karena nguji tanpa imbalan.

Mina, 9 Dzulhijjah 1444 H. / 28 Juni 2023 M.