Sudah Vaksin Masih Positif, Kita Bisa Apa?

0
565

Oleh Abdul Chalik*

Banyak yang bertanya, sudah divaksin mengapa masih positif Covid-19? Pertanyaan itu bukan sekedar muncul dari teman dan tetangga tetapi juga dari saya sendiri. Saya, istri dan anak sudah divaksin tapi nyatanya masih positif. Begitu pula yang terjadi pada banyak teman dan tetangga. Lalu, apa gunanya vaksin bila masih mudah diterobos virus?

Meskipun sudah mendengar dari para ahli pandemi lewat media TV, webinar, diskusi, baca artikel dan postingan yang cukup variatif, saya tetap mencari tahu apa kegunaan vaksin serta kekuatannya dalam menjaga imunitas tubuh. Sampailah pada kesimpulan bahwa vaksin tidak akan membuat tubuh kebal total dan juga tidak menjamin virus tersebut tidak masuk (lagi) dalam tubuh kita. Apalagi varian virus terus berkembang, kira-kira beranak-pinak dengan segala macam cara untuk merusak tubuh sebagaimana virus Delta yang katanya sangat ganas itu, sepuluh kali lebih ganas dari virus sebelumnya. Tidak menutup kemungkinan Delta juga melahirkan virus baru (lagi) yang juga lebih ganas sebelumnya.

Lalu hasil vaksin? Sampailah pada analisis ahli epidemi bahwa dampak vaksin bevariatif. Katanya, ada yang sampai 95 %, 90 %, 70 %, bahkan di bawah 60 % tergantung pada jenis vaksinnya. Begitu pula, jangka waktu aktif vaksin dalam tubuh. Ada yang mengatakan sampai 10 tahun, 5 tahun, bahkan di bawah 5 tahun. Sinovac yang pertama kali masuk di Indonesia termasuk vaksinasi pada saya dan keluarga disimpulkan termasuk vaksin yang kekuatanya berada di kisaran bawah. Bahkan WHO merekomendasikan hanya digunakan bila dalam keadaan darurat. Bahasa lain, kalau yang lain masih ada, jangan pakai Sinovac.

Dua hari lalu saya minta informasi dari dokter di Sidoarjo dan Gresik tentang manfaat vaksin. Katanya sih, orang sudah divaksin tidak berpotensi mengalami infeksi secara fatal karena imun tubuh sudah terbentuk asalkan tidak mengalami gejala-gejala seperti sesak pernafasan, asma akut, obesitas dan gula darah tinggi. Di samping itu aktif menjaga imun tubuh dengan pola hidup sehat, makan yang bergizi, rajin berolahraga. Di sisi lain varian baru seperti Delta yang dikenal ganas sudah lenyap, maka keampuhan vaksin masih terjaga.

Kita bisa apa?

Bila demikian, kita bisa berbuat apa? Tidak ada pakar satupun di dunia yang memprediksi kapan virus ini berakhir, begitu pula tidak satupun yang berani memastikan bila vaksin dapat menyelesaikan masalah. Opini dan komentar para ahli dibantah oleh waktu—yang ternyata sebagian besar meleset. Semua pada tahap mencoba dan uji coba cara apa yang paling memungkinkan untuk membendung ‘keganasan’ virus. Karena di antara kita sebagian bekerja, berinteraksi dengan banyak orang dalam malakukan kontak sosial baik di tempat kerja, di lingkungan, di organisasi atau di ruang-ruang sosial, maka pilihan akhirnya hanyalah 5 M sebagaimana anjuran pemerintah selama ini. Itulah ikhtiar maksimal yang dapat dilakukan baik sebelum dan sesudah vaksin.

Ada teman bilang, bahwa ia sudah menerapkan 5 M tapi masih terinfeksi. Saya sampaikan, coba cek lagi dan cek lagi cara menerapkan 5 M. Misalnya pemakaian masker. Sebagaimana pengalaman yang saya pernah lihat, tidak semua orang disiplin memakainya—terutama bagi mereka yang sudah vaksin. Saat bicara, masker ditarik ke bawah sehingga mulut dan hidung dibiarkan terbuka. Saat rehat, baik makan, minum, merokok, masker dibuka dan masih dalam posisi yang berdekatan dengan teman kanan kirinya. Bahkan dalam waktu santai, masker dibuka dan seolah semua orang dalam ruangan hidup dalam keadaan normal. Masker bukan sekedar menyelamatkan diri, tetapi memastika bahwa lingkungan sekitar tidak tertular atau menulari pada yang lain. Masker adalah pintu masuk ‘pertama’ untuk ikhtiar keselamatan.

Kita juga sering melihat begitu mudahnya orang bersalaman sesama orang yang sama sekali tidak dikenal dan tidak diketahui riwayat penyakitnya. Kita sering melihat di kegiatan pengajian, tahlil, rapat, begitu mudahnya hubungan fisik satu sama lain melalui jabat tangan. Tidak ada social distancing, menjaga jarak, justru sebaliknya mendekatkan jarak.

Kita juga sering mendapatkan seorang teman yang batuk, pilek, meriang, dan badan panas masih beraktifitas seperti biasa bersama yang lain. Sangat sulit diarahkan untuk istirahat apalagi swab antigen untuk memastikan yang bersangkutan sehat atau tidak. Kalau saja dia istirahat di rumah atau swab dan hasilnya diketahui positif, maka ia bukan sekedar menyelamatkan diri tetapi banyak orang. Banyak orang terpapar karena ‘kelalaian yang disengaja’ dan bahkan berakibat fatal atau kematian terutama bagi imunnnya sedang menurun. Karena banyak yang takut dites antigen karena khawatir positif, dan dicap macem-macem oleh kanan kirinya, serta mengurangi aktifitas sosial.

Pengalanan saya swab antigen bersama keluarga berangkat dari hal-hal sepele seperti meriang dan pilek. Untuk kesekian kalinya saya swab, bahkan satu minggu bisa 1-2 kali tergantung kebutuhan dan hasilnya selalu negatif. 20 dan 22 Juni 2021 lalu sy swab di Greesa dan 30 Juni dan 2 Juli 2021 juga swab. Begitu pula dalam kondisi tertentu, selalu menggunakan double masker dan menjaga jarak. Makanan sering membawa dari rumah, dan saat tertentu bekal tersebut dimakan di mobil.

Tetapi (sekali lagi) tidak ada jaminan yang sudah vaksin, disiplin menjalankan 5 M, aktif berolahraga bisa selamat dari Covid. Semua itu dalam rangka ikhtiar. Islam mengajarkan sangat jelas tentang ikhtiar itu. Tak perlu lagi dibahas tentang ayat al-Qur’an dan Hadis yang menjelaskan tentang itu karena akan sangat mudah menemukan penjelasannya. Red

*ABDUL CHALIK Ketua MUI Gresik (Bidang Dakwah), dan Dosen UINSA Surabaya, Penyintas Covid-19

Tonton Video: MUI Bangun Pesantren di Rutan