Saat Kita Sibuk Menghitung Sunnah, Sementara Keadilan Tersandera

0
2
Foto: KH. Achmad Chuvav Ibriy, Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik. (Zainal/cakrawalamuslim)

OPINI – Tulisan ini bukan sekadar ajakan beribadah lebih banyak, tetapi beribadah lebih benar. Di tengah kegaduhan simbol dan perdebatan remeh-temeh, fiqhul awlawiyyāt mengembalikan kita pada inti agama: keadilan, kemanusiaan, dan tanggung jawab moral. Sebuah panduan untuk menata ulang prioritas beragama di zaman ketika banyak orang sibuk membahas sunnah kecil, sementara kewajiban besar dibiarkan runtuh.

Berbicara tentang Fiqhul Awlawiyyāt atau Fikih Prioritas memang terasa seperti membuka lembar lama yang sudah dibahas para ulama sejak beberapa dekade lalu. Namun kenyataannya, tema ini tidak pernah benar-benar selesai. Justru karena problem umat tidak bergerak menuju kematangan prioritas, kajian ini tetap relevan bahkan semakin mendesak.

Kita hidup di tengah masyarakat yang tampak semakin religius dalam simbol, tetapi masih gagap menempatkan mana yang wajib, mana yang sunnah, mana yang bisa diperselisihkan, dan mana yang harus diperjuangkan bersama. Karena itu, Fikih Prioritas bukan materi usang; ia adalah alarm moral yang perlu terus diulang, agar agama tidak berhenti sebagai ritual, tetapi berfungsi sebagai panduan arah kehidupan dan peradaban.

Ada satu ironi keagamaan yang terus berulang di negeri ini: semakin banyak simbol agama terlihat, semakin samar nilai agama dipraktikkan. Kita memperdebatkan hukum qunut, jarak saf, warna cadar, dan jumlah rakaat tarawih —seolah-olah nasib agama bergantung pada detail teknis itu— sementara di waktu yang sama, ketidakadilan hukum, korupsi, dan ketimpangan ekonomi tumbuh seperti wabah tanpa penanganan serius.

Inilah yang oleh Yusuf al-Qaradhawi disebut ikhtilāl fiqhil aulawiyyāt: kekacauan menempatkan prioritas agama. Ia menulis lugas:
“Ketika umat mendahulukan perkara kecil atas perkara besar, maka di situlah bencana beragama dimulai.”

Masalahnya bukan karena umat tidak beramal, tetapi karena umat salah menentukan mana amal yang paling penting untuk kondisi sosial yang mereka hadapi.

Sejarah memberikan contoh teladan. Ketika seorang sahabat meminta izin berperang—ibadah mulia, bahkan puncak amal fisik dalam Islam—Rasulullah Saw. justru berkata:

الْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
“Temanilah ibumu, karena surga berada di bawah kedua kakinya.”

Di sini Nabi Saw. mengajarkan logika prioritas: yang wajib dan berdampak langsung pada kemaslahatan lebih utama daripada ritual yang sifatnya bisa ditunda.

Sayangnya, kesadaran ini semakin hilang. Kita hidup di zaman ketika agama dikerdilkan menjadi seragam, simbol, dan prosedur, bukan nilai keadilan dan tanggung jawab sosial. Padahal dalam kaidah ushul disebutkan:

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Mencegah kerusakan lebih utama daripada meraih kemaslahatan.”

Namun kebijakan, sikap sosial, bahkan keputusan publik kita sering kebalikannya: mudarat politik dibiarkan, sementara masyarakat sibuk memperdebatkan halal-haram musik, tepuk tangan, atau ucapan selamat Natal.

Apakah agama hanya untuk itu?
Indonesia hari ini menghadapi tantangan berat: krisis keadilan hukum, korupsi struktural, ancaman intoleransi, kerusakan moral elite, serta penyempitan akal sehat dalam beragama. Namun sebagian umat justru memilih fokus pada polemik kecil yang tak mengubah keadaan apa pun. Sebagian merasa telah “berjuang untuk agama” hanya karena memperdebatkan hukum wiridan setelah shalat di media sosial, sementara realitas sosial di luar pintu rumahnya menjerit.

Ibnu Qayyim pernah mengingatkan bahwa agama tidak hanya menilai apa yang dilakukan, tetapi apa dampaknya. Amal yang manfaatnya meluas lebih tinggi nilainya daripada amal yang hanya memberi pahala personal; seperti Kaidah Fiqhiyah mengatakan :
المتعدى أفضل من القاصر

Rasulullah Saw. bahkan bersabda:
لَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَتِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي مَسْجِدِي هَذَا شَهْرًا
“Membantu kebutuhan seseorang lebih aku cintai daripada iktikaf di masjid ini sebulan.”

Ini bukan meremehkan ibadah, tetapi mengembalikan akal sehat beragama: ritual tidak boleh mengalahkan misi kemanusiaan.

Di titik ini, fiqhul awlawiyyāt menjadi bukan hanya wacana intelektual, tetapi alat koreksi sejarah umat. Umat Islam butuh peta jalan cara beragama yang proporsional, seperti ditulis Al-Qaradhawi:

“Ahli fiqih sejati adalah yang mampu menimbang antara teks dan tujuan syariat, antara maslahat dan mafsadat, lalu menempatkan setiap hal pada kadarnya.”

Karena agama bukan hanya bertanya, “Apa hukumnya?” tetapi juga bertanya, “Apa dampaknya bagi masyarakat?”

Maka, beragama di era ini bukan sekadar memperbanyak amalan, tetapi mengembalikan skala nilai:
Amar ma’ruf bukan hanya menegur celana di atas mata kaki, tetapi memperjuangkan sistem sosial yang adil.
Nahi munkar bukan hanya melarang musik atau kosmetik tertentu, tetapi melawan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Ibadah bukan hanya kesalehan personal, tetapi kesalehan sosial. Karena agama tidak turun untuk menciptakan generasi yang sibuk berdebat, tetapi generasi yang membawa perubahan.

Jika umat terlalu lama terjebak dalam cabang-cabang khilafiyah, sementara akar persoalan umat dibiarkan membusuk, maka agama kehilangan fungsi peradabannya.

Akhirnya, fiqhul awlawiyyāt mengajak kita menata ulang cara beragama: beribadah dengan cerdas, berislam dengan arah, dan beragama dengan kesadaran tujuan.

Sebab, agama ini bukan hanya ingin melihat kita rajin sujud, tetapi juga adil, peduli, dan bertanggung jawab.

Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.

*Penulis adalah KH. Ahmad Chuvav Ibriy, Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik.