OPINI – Ada tiga dosa besar dalam pendidikan: intoleransi, perundungan dan kekerasan seksual. Dosa perundungan sudah kita perbincangkan minggu lalu. Sekarang kita perbincangkan dosa pendidikan yang lain, intoleransi.
Di banyak ruang kelas di negeri ini, masih ada tembok tak kasat mata yang memisahkan murid satu dengan lainnya. Kadang tembok itu hadir dalam bentuk ejekan terhadap agama berbeda, penolakan berteman dengan yang “tak seiman”, atau komentar guru yang tanpa sadar memperkuat bias. Tembok itu bernama intoleransi.
Data survei Setara Institute (2023) menunjukkan 24,2 persen remaja SMA tergolong intoleran pasif. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi cermin retak yang memantulkan wajah pendidikan kita: cerdas otak, tetapi rapuh hati.
Jika sekolah adalah taman, maka intoleransi adalah gulma yang tumbuh diam-diam, menyedot nutrisi nilai kemanusiaan, dan menghambat mekarnya bunga-bunga kebersamaan. Gulma ini tak cukup diberantas dengan gunting pengawasan dan papan larangan. Ia harus dicabut sampai ke akar—dan akarnya adalah defisit cinta.
Apa itu KBC?
Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) adalah sebuah model pendidikan yang menempatkan cinta sebagai inti dari proses belajar-mengajar. Konsep ini mengajarkan bahwa pendidikan sejati tidak hanya mengasah logika dan keterampilan, tetapi juga menumbuhkan kasih sayang, penghargaan terhadap perbedaan, dan kepedulian terhadap sesama serta lingkungan.
Dalam kehidupan, manusia dipanggil untuk menumbuhkan cinta yang utuh dan seimbang. Panca Cinta yang dihayati KBC menjadi jalan bagi setiap pribadi untuk bertumbuh secara menyeluruh.
Pertama, cinta kepada Tuhan mengajarkan bahwa iman bukan sekadar ritual, melainkan sebuah spiritualitas yang inklusif. Dari cinta ini lahirlah sikap penuh hormat terhadap perbedaan dan kesadaran bahwa hidup adalah anugerah.
Kedua, cinta kepada diri dan sesama menuntun manusia untuk menghargai dirinya sendiri, membangun rasa percaya diri, sekaligus mengembangkan empati. Dengan mencintai diri, kita belajar mencintai orang lain dengan lebih tulus.
Ketiga, cinta kepada ilmu pengetahuan menjadi dorongan untuk terus belajar, membuka pikiran, dan menumbuhkan rasa ingin tahu. Ilmu dipandang sebagai cahaya yang menuntun manusia agar semakin bijaksana dan terbuka pada perubahan.
Keempat, cinta kepada lingkungan menyadarkan bahwa alam bukan sekadar sumber daya, melainkan amanah yang harus dijaga. Sikap peduli dan tanggung jawab terhadap bumi meneguhkan hubungan manusia dengan ciptaan lainnya.
Kelima, cinta kepada bangsa meneguhkan tekad untuk menjaga persatuan di tengah keberagaman. Dari cinta ini lahirlah semangat kebersamaan, persaudaraan, dan pengabdian demi kebaikan bersama.
Dengan menghidupi Panca Cinta, setiap pribadi dibimbing untuk menjadi manusia yang utuh: beriman, berkarakter, berpengetahuan, peduli, dan berjiwa kebangsaan.
Pendekatan ini memandang intoleransi bukan sekadar pelanggaran perilaku, tetapi gejala dari berkurangnya keterhubungan emosional dan spiritual antara individu dengan lingkungannya. Dengan cinta sebagai fondasi, prasangka kehilangan ruang untuk tumbuh.
Mengubah Ruang Kelas menjadi Ruang Aman
Penerapan KBC dalam pemberantasan intoleransi dimulai dari guru. Guru adalah “arsitek jiwa” yang membentuk karakter anak. Pelatihan guru dalam KBC tidak hanya membahas teknik mengajar, tetapi juga melatih kepekaan: bagaimana menanggapi komentar intoleran tanpa mempermalukan, serta bagaimana mengubah konflik menjadi pelajaran empati.
Ruang kelas pun diubah menjadi “ruang aman”—tempat di mana murid merasa dihargai, bebas berpendapat tanpa takut dihakimi, dan belajar memahami perbedaan melalui interaksi nyata. Diskusi lintas identitas, proyek kelompok yang mencampur latar belakang murid, atau pertukaran cerita tradisi keluarga dilakukan secara rutin, bukan insidental.
Harmoni KBC dan Kurikulum Merdeka
Di madrasah, penerapan KBC tidak berjalan sendirian. Ia berpadu dengan Kurikulum Merdeka yang kini menjadi panduan nasional. Kurikulum Merdeka menekankan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dan penguatan Profil Pelajar Pancasila. KBC mengisi roh dari proyek itu dengan nilai-nilai cinta, sehingga pembelajaran tidak hanya mengasah kompetensi, tetapi juga membentuk karakter yang penuh kasih.
Misalnya, ketika murid melaksanakan proyek lingkungan, Kurikulum Merdeka memberi kerangka kerja dan indikator capaian, sementara KBC menanamkan “Cinta Kepada Lingkungan” sebagai motivasi. Demikian pula dalam kegiatan lintas budaya, Kurikulum Merdeka menyiapkan metode dan asesmen, sedangkan KBC memastikan interaksi dilandasi empati dan saling menghormati.
Dengan kolaborasi ini, madrasah dapat membentuk lulusan yang bukan saja cerdas dan terampil, tetapi juga lembut hati dan lapang dada dalam menghadapi perbedaan.
Dari Kognitif ke Afektif
Pendidikan kita cenderung menilai keberhasilan dari aspek kognitif semata. Nilai matematika 100 dianggap puncak prestasi, meski anak masih enggan berinteraksi dengan teman berbeda agama. KBC menambahkan penilaian afektif sebagai indikator utama keberhasilan. Sikap toleran, kemampuan bekerjasama lintas batas, dan empati menjadi kompetensi yang diukur, diapresiasi, dan dilatih terus-menerus.
Dengan begitu, toleransi tidak hanya menjadi slogan di dinding sekolah, tetapi kebiasaan yang tertanam dalam perilaku sehari-hari. Misalnya, murid dilibatkan dalam festival budaya sekolah, di mana setiap kelompok menampilkan kesenian atau kuliner khas daerah temannya. Mereka belajar bahwa keberagaman adalah sumber kekayaan, bukan ancaman.
Orang Tua dan Komunitas: Lingkaran Cinta
Memberantas intoleransi tidak cukup di sekolah. Rumah dan komunitas sekitar harus menjadi perpanjangan tangan dari nilai-nilai cinta. KBC mendorong partisipasi orang tua dalam program sekolah, mengadakan forum lintas keluarga, dan melibatkan tokoh masyarakat untuk berbagi kisah inspiratif tentang hidup damai dalam keberagaman.
Dengan demikian, nilai yang dibangun di sekolah tetap terjaga. Anak tidak tercerabut ketika kembali ke rumah atau berselancar di media sosial. Anak tumbuh dalam satu dunia yang konsisten—dunia yang memuliakan perbedaan.
Mengganti Narasi
Intoleransi sering bertahan karena narasi yang bias—baik dari buku pelajaran, berita, atau cerita turun-temurun. KBC melawan ini dengan menghadirkan narasi alternatif yang sehat: kisah tokoh bangsa yang bekerja sama lintas agama, sejarah gotong royong antar suku, dan legenda lokal yang sarat pesan persaudaraan.
Narasi membentuk imajinasi, dan imajinasi yang sehat melahirkan tindakan yang sehat.
Dari Pencegahan ke Transformasi
KBC tidak hanya bertujuan mencegah intoleransi, tetapi mentransformasi mindset generasi muda menjadi generasi yang aktif mencintai. Cinta yang dimaksud bukan sekadar perasaan manis, tetapi kesediaan menghargai martabat setiap manusia, melindungi alam, dan mengupayakan kebaikan bersama.
Transformasi ini memang butuh waktu, tetapi menanam pohon cinta hari ini akan memberi teduh yang abadi untuk generasi mendatang.
Penutup
Intoleransi di sekolah adalah bom waktu yang mengancam masa depan bangsa. Kita tidak bisa lagi puas dengan kebijakan reaktif. KBC menawarkan jalan menyembuhkan akar masalah: menghapus kebencian dan menggantinya dengan cinta yang murni.
Jika sekolah menjadi taman yang subur, di mana setiap anak merasa diterima, maka bangsa ini akan tumbuh menjadi hutan rindang yang menaungi semua.
Cinta bukan slogan. Ia adalah kurikulum kehidupan. Dan sekolah adalah ladang terbaik untuk menanamnya.
*Penulis adalah KH. Ahmad Chuvav Ibriy, Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik, serta Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik