
OPINI – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Gresik beberapa waktu yang lalu menjalin kerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dalam hal perumusan panduan peribadatan bagi pegawai kantor pemerintahan maupun pekerja perusahaan. Kerjasama ini untuk menjamin tentang hak beribadah di lingkungan kerja.
Apabila ditelaah lebih mendalam, pengaruh prinsip-prinsip ekonomi pasar dalam dunia kerja yang mengusung slogan ‘time is money’ cenderung memfokuskan pada produktivitas material. Fokus ini dapat memengaruhi keseimbangan antara kehidupan profesional dan ruang spiritual para pekerja, yang berpotensi menjauhkan mereka dari nilai-nilai kehidupan religius.
Padahal menjadikan ibadah sebagai prioritas di sela kesibukan kerja bukanlah penghambat kemajuan, melainkan justru mesin penggerak kualitas hidup. Ruang spiritual merupakan jangkar yang menjaga diri pekerja agar tetap teguh berdiri di tengah badai industri. Sebab, kesuksesan yang sesungguhnya adalah ketika tangan sibuk bekerja, namun hati tetap terpaut pada Pencipta.
Kewajiban perusahaan untuk memberikan kesempatan beribadah secara eksplisit tercantum dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal ini menyatakan bahwa pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pelanggaran terhadap hak ini tidak hanya merugikan moral karyawan, tetapi juga dapat membawa konsekuensi hukum bagi perusahaan. Selain itu, Pasal 100 UU Ketenagakerjaan juga menekankan pentingnya penyediaan fasilitas kesejahteraan yang menunjang kebutuhan pekerja di lingkungan kantor.
Ironisnya, jika kita cermati maka pemenuhan hak untuk beribadah oleh perusahaan sebagian masih berjalan setengah hati. Ada 2 hal yang relatif cukup mencolok dan mudah ditemukan, yaitu sangat terbatasnya waktu yang disediakan bagi pekerja untuk bisa menjalankan ibadah secara khusyu’. Selain itu, fasilitas beribadah yang disediakan pun dapat disebut sangat tidak layak.
Penyediaan waktu shalat
Pada era kapitalisme-materialis modern, tuntutan target yang kian mencekik seringkali menjadikan hak fundamental pekerja terabaikan, termasuk ketenangan dalam beribadah. Slogan “time is money” bukan sekadar menjadi motivasi untuk meningkatkan keuntungan material, tetapi justru menjadi jeratan yang membuat sejenak “waktu untuk bersujud atau berdoa” seolah sangat merugikan secara finansial bagi perusahaan.
Di negeri yang salah satu bagian dari paham ideologinya mengakui “Ketuhanan Yang Maha Esa”, beberapa kali justru mencuat kasus pembatasan hingga pelarangan ibadah shalat bagi pekerja Muslim dengan -berbagai alasan yang dibuat-buat- mencederai hak asasi manusia dan konstitusi.
Arogansi perusahaan yang membatasi dan atau menghalangi pekerja untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinannya bertentangan dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 -Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu- dan Pasal 80 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan -Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Fasilitas yang terkadang kurang memadai
Selain persoalan pemberian kesempatan untuk shalat, hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah kondisi tempat ibadah bagi pekerja yang terkadang masih disediakan secara terbatas. Tidak jarang, lokasi tempat ibadah berada di area yang kurang mendukung kenyamanan, seperti di sudut gudang, area parkir yang pengap, atau berdekatan dengan tempat pembuangan limbah.
Kondisi tersebut semakin terasa ketika ukuran ruangan tidak sebanding dengan jumlah pekerja yang menggunakannya. Akibatnya, pada waktu-waktu tertentu pekerja harus mengantre cukup lama atau melaksanakan ibadah dalam keadaan berdesakan. Selain keterbatasan ruang, aspek kebersihan juga menjadi tantangan tersendiri. Lantai yang lembap, aroma kurang sedap, serta fasilitas tempat wudhu yang kurang terawat dapat mengurangi kenyamanan dalam beribadah.
Padahal, penyediaan tempat ibadah yang layak merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan sekaligus wujud penghormatan terhadap keberagaman keyakinan di lingkungan kerja. Tempat ibadah yang bersih dan nyaman diyakini dapat membantu meningkatkan ketenangan dan kesejahteraan mental pekerja, yang pada akhirnya berkontribusi positif terhadap produktivitas kerja.
Mengenai alasan mengapa sebagian perusahaan belum menyediakan tempat ibadah secara memadai, hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan, termasuk keterbatasan ruang atau kebijakan internal perusahaan. Namun demikian, dengan perencanaan yang tepat, kebutuhan ibadah pekerja tetap dapat diakomodasi tanpa mengesampingkan kepentingan operasional.
Pentingnya pengawasan intensif
Perusahaan yang progresif di era modern bukan hanya yang memiliki teknologi tercanggih, melainkan yang mampu memanusiakan pekerjanya. Memberikan waktu dan tempat ibadah yang representatif adalah standar minimal bagi perusahaan yang ingin membangun reputasi positif dan keberlanjutan bisnis jangka panjang. Pengawasan bukanlah beban bagi pengusaha, melainkan kompas untuk memastikan perusahaan tetap berjalan pada jalur kemanusiaan yang benar.
Sinergi antara MUI dan Disnaker merupakan langkah strategis untuk memastikan hak spiritual pekerja tidak terpinggirkan oleh kepentingan profit perusahaan. Kolaborasi ini menjadi krusial untuk mentransformasi fasilitas ibadah dari sekadar “ada” menjadi layak dan representatif.
Lebih dari itu, MUI memiliki otoritas untuk menentukan standar kelayakan tempat ibadah (seperti arah kiblat, kesucian tempat wudhu, dan sirkulasi udara), sementara Disnaker memiliki instrumen hukum untuk memaksakan kepatuhan perusahaan. Tanpa panduan dari MUI, Disnaker mungkin hanya melihat ketersediaan ruangan tanpa memperhatikan syarat sah ibadah. Sebaliknya, tanpa pengawasan Disnaker, imbauan MUI tidak memiliki kekuatan hukum bagi perusahaan yang membandel.
Kolaborasi ini memberikan pemahaman kepada perusahaan bahwa fasilitas ibadah yang memadai bukanlah beban biaya, melainkan investasi pada kesehatan mental dan loyalitas karyawan. Dengan adanya pengawasan bersama, tercipta ekosistem kerja yang humanis, di mana nilai-nilai agama dan profesionalisme berjalan beriringan.***
*Penulis adalah Abdullah Sidiq Notonegoro, M.Pd.I, Pengurus Komisi Dakwah, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat MUI Kabupaten Gresik.











