Secercah Harapan Pemimpin Masa Depan

0
3
Foto: KH. Ahmad Chuvav Ibriy , Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik (Zainal/cakrawalamuslim)

Di tengah keputusasaan publik terhadap politik yang penuh transaksi, harapan bisa tumbuh dari tempat yang tak terduga. Kemenangan Zohran Mamdani di New York, seorang aktivis muda yang berangkat dari gerakan rakyat dan bukan dari kekuatan modal, membuktikan bahwa politik yang bersih tidak mustahil. Indonesia pun bisa melahirkan pemimpin seperti itu. Kuncinya ada pada keberanian moral ulama, ketegasan umat, dan keberpihakan pada akhlak serta integritas.

Oleh KH. Ahmad Chuvav Ibriy

OPINI – Di tengah hiruk-pikuk politik yang sering diwarnai godaan kekuasaan, uang, dan transaksi pragmatis, masyarakat kerap merasa kehabisan harapan. Setiap menjelang pemilu, spanduk bertebaran, janji berguguran, poster menguasai ruang publik. Namun setelah itu, banyak yang menghilang dari rakyat. Lebih buruk lagi, sebagian dari mereka justru menjadi headline pemberitaan karena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sepanjang dua dekade terakhir, puluhan kepala daerah ditangkap, dari bupati, wali kota, bahkan gubernur, termasuk di antaranya empat Gubernur Riau yang terjerat kasus korupsi.

Situasi ini mengundang satu pertanyaan besar: apakah kita masih bisa berharap lahirnya pemimpin yang jujur?

Jawabannya: ya, sangat bisa.

Kemenangan Zohran Kwame Mamdani di New York adalah bukti bahwa politik tidak harus dimulai dari kemewahan modal, tetapi dari keberpihakan kepada rakyat. Mamdani maju bukan karena dinasti politik, bukan karena lobi konglomerat, dan bukan konsorsium modal. Ia berangkat dari lorong-lorong sempit, mengetuk pintu demi pintu, mendengarkan suara rakyat tentang kebutuhan dasar yang mereka perjuangkan setiap hari: biaya hidup, transportasi, perumahan yang layak. Ia tidak menjanjikan “mimpi langit”, tetapi memperjuangkan kebutuhan mendasar manusia.

Mamdani menunjukkan bahwa politik bukan soal darah biru, tetapi soal keberanian moral.

Indonesia pun bisa melahirkan pemimpin seperti itu, bahkan lebih baik. Tetapi untuk itu, ada prasyarat sosial dan moral yang harus dipersiapkan. Di sinilah peran ulama menjadi sangat strategis.

Ulama Sebagai Penjaga Moralitas Politik
Dalam sejarah bangsa ini, ulama bukan hanya penjaga masjid dan pesantren, tetapi pemandu arah peradaban. Ulama adalah suara keberanian moral dalam menghadapi kekuasaan yang menyimpang. Dalam tradisi Islam, Nabi Muhammad Saw. adalah contoh pertama pemimpin yang lahir dari moralitas, bukan modal.

Ulama terdahulu tidak takut menegur umara. Mereka menjaga jarak dari kekuasaan agar tetap bebas bersuara. Dalam kitab-kitab fiqh klasik, sering disebut:

“Apabila ulama dekat dengan penguasa, maka rusaklah agama penguasa dan hilang marwah ulama.”

Namun fenomena hari ini berbeda. Sebagian ulama atau ormas Islam diam ketika negara melakukan kemungkaran. Banyak Ormas Islam yang takut ber-nahi munkar. Diam saat terjadi penyalahgunaan kekuasaan, pemborosan anggaran, konflik kepentingan, atau proyek-proyek yang lebih menguntungkan pihak tertentu dibandingkan masyarakat luas.

Diam ini tidak netral. Diam ini turut melanggengkan kerusakan.

Padahal Allah Swt. sudah mengingatkan:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim sehingga kamu disentuh api neraka…” (QS. Hūd [11]: 113)

Dalam konteks inilah ulama harus hadir bukan untuk ikut arus, tetapi menjadi arus.

Bagaimana Ulama Melahirkan Pemimpin Seperti Mamdani?
Ada tiga peran fundamental:
1. Mendidik integritas sejak dini melalui pesantren dan masjid.
Politik yang bersih tidak dimulai saat kampanye, tetapi saat karakter dibentuk. Pesantren harus menjadi pusat pembinaan akhlak kepemimpinan, bukan sekadar tempat belajar kitab.

2. Mengawal proses politik dengan keberanian amar ma‘rūf nahi munkar.
Ulama tidak cukup hanya mendoakan pemimpin, tetapi harus berani mengoreksi ketika terjadi penyimpangan.

3. Menjaga jarak dari kepentingan politik praktis.
Ulama harus menunjukkan kemerdekaan moral. Ketika ulama menjadi bagian dari tim sukses atau menerima terlalu banyak fasilitas, independensi moral melemah.

Mengembalikan Kepercayaan Publik
Rakyat bukan lelah politik, tapi rakyat lelah dibohongi politik.

Jika ulama berani mengambil peran sebagai penjaga akhlak politik, maka publik akan kembali percaya bahwa demokrasi bukan panggung sandiwara kekuasaan. Kita akan melihat anak muda dari kampung, alumni pesantren, mahasiswa miskin, aktivis sosial, bahkan yang tidak punya modal besar, bisa menjadi pemimpin di negeri ini.

Maka, secercah harapan itu ada bukan karena ada “orang kuat”, tetapi karena ada masyarakat yang mau memperjuangkan nilai.

Harapan Itu Nyata
Jika New York, kota dengan kompetisi politik paling keras di dunia, bisa melahirkan pemimpin dari jalanan perjuangan rakyat, maka Indonesia lebih mungkin lagi. Sebab kita memiliki modal yang tidak dimiliki negara mana pun: ULAMA.

Selama ulama menjaga marwahnya, selama pesantren menjadi pusat integritas, dan selama umat berani memilih akhlak daripada amplop, maka pemimpin seperti Zohran Mamdani bukan hanya mungkin lahir, dia pasti lahir.

*Penulis adalah KH. Ahmad Chuvav Ibriy, Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik.