OPINI – Lazimnya ketika memasuki bulan Rabiul Awal yang di kalangan masyarakat kita lebih dikenal dengan nama bulan ‘Maulid,’ masyarakat muslim di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia, selalu menyambutnya dengan penuh suka cita dan kemeriahan mengingat bulan ini adalah bulan kelahiran Rasulullah Muhammad saw.
Bagi umat Islam, kelahiran Rasulullah saw. merupakan sebuah anugerah terbesar dalam kehidupan di dunia ini. Sehingga, tidak heran, kalangan umat muslim, khususnya di Indonesia, kemudian mengekspresikan perasaan suka cita dan syukur atas anugerah tersebut dalam ekspresi tradisi dan budaya.
Tentu hal ini tidak berlebihan, setidaknya sependek pemahaman penulis, karena eksistensi Rasulullah saw. sendiri merupakan sebuah sebab musabab diciptakannnya alam semesta ini. sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis Qudsi berikut:
لَوْلَاكَ لَوْلَاكَ يَا مُحَمّد لما خَلَقْتَ الأَفْلَاك
“Jika bukan karena engkau wahai Muhammad, tidak akan aku ciptakan alam semesta ini.”
Al-Qur’an pun turut menegaskan bahwa kelahiran seorang ‘utusan’ pada dasarnya menjadi sebuah anugerah terbesar bagi umat manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam (QS Ali Imran: 164)
لَقَدْ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.”
Kehadiran Rasulullah saw. di tengah umat manusia tidak hanya menjadi penanda lahirnya sebuah peradaban baru, tetapi juga menjadi cahaya yang menerangi jalan kehidupan. Beliau datang membawa risalah yang memuliakan akal, menyucikan jiwa, dan menata masyarakat berdasarkan nilai-nilai keadilan serta kasih sayang.
Oleh sebab itu, seyogyanya kelahirannya tidak hanya diperingati sebagai peristiwa historis semata, melainkan juga sebagai momentum spiritual untuk meneguhkan kembali kecintaan kita kepadanya sekaligus meneladani dan meneruskan perjuangan untuk menyebarkan rahmah bagi semesta alam.
Penulis melihat bahwasannya peringatan maulid ini menemukan relevansinya jika dikaitkan dengan kondisi bangsa kita saat ini di tengah krisi moral yang tak kunjung reda.
Berbagai tindakan amoral dengan gamblang dipertontonkan oleh aktor penyelenggara negara, mulai dari kasus Bupati Pati yang membuat kebijakan terkait pajak yang tidak sensitif dengan kondisi masyarakat kalangan bawah, sampai pada Gedung DPR yang semakin kehilangan marwahnya dengan jogetan para anggota dewan usai keputusan kenaikan tunjangan yang seakan tidak menunjukkan empati kepada kondisi masyarakat.
Sikap dari para penyelenggara pemerintah itu kemudian memantik berbagai reaksi bahkan aksi demonstrasi besar-besaran di banyak wilayah. Terlebih lagi, adanya korban jiwa, Affan Kurniawan (driver ojek online) nyawa yang hilang saat masyarakat tengah menyuarakan kekecewaannya kepada pemerintah dengan cara dilindas mobil Taktis yang dikendarai oleh aparat penegak hukum.
Terlepas itu semua, pada momen peringatan maulid ini, selain ekspresi seremonial, kiranya kita semua perlu untuk merefleksikan kembali akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Beliau adalah adalah teladan yang sempurna, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, QS. Al-Ahzab: 21.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Kejujuran beliau yang membuat masyarakat Makkah menjulukinya al-Amin adalah obat bagi bangsa yang masih bergulat dengan praktik korupsi. Kasih sayang beliau yang menembus batas suku, agama, dan bangsa adalah inspirasi untuk menjaga kebhinekaan Indonesia yang kerap terancam oleh intoleransi dan perilaku para ‘aktor negara’ yang banyak memperkaya diri sendiri.
Perhatian dan kepeduliannya terhadap masyarakat miskin, yatim, dan yang termarjinalkan merupakan pesan dan teladan yang kuat agar masyarakat muslim memberikan perhatian lebih pada isu-isu kemiskinan dan kesenjangan sosial di tengah masyarakat.
Akhirnya, penulis melihat bahwa dengan cara yang demikian, peringatan maulid Nabi tidak hanya berhenti menjadi nostalgia sejarah, tetapi menjelma menjadi panduan hidup yang kontekstual di masa kini.
*Penulis adalah Ahmad Aminuddin, S.Ud., MA, Pengurus Komisi Dakwah, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat MUI Kabupaten Gresik, serta Dosen Universitas Kiai Abdullah Faqih (UNKAFA) Suci, Gresik.