Islam yang Memerdekakan

0
2
Foto: Abdullah Sidiq Notonegoro, M.Pd.I, Anggota Komisi Dakwah, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat MUI Kabupaten Gresik. (Zainal/cakrawalamuslim)

OPINI – Saat ini, Bangsa Indonesia sedang dalam suasana peringatan Hari Kemerdekaan ke-80. Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus 1945 itu merupakan hasil dari perjuangan yang gigih seluruh elemen bangsa. Perjuangan yang tidak kenal lelah dan penuh kerelaan dalam pengorbanan itu, jiwa dan raga seolah tiada harganya. Bagi bangsa Indonesia, kemerdekaan dan kedaulatan merupakan kehormatan yang tidak bisa ditawar. Bukan sekadar harta, namun juga jiwa dan raga pun dipertaruhkan untuk meraihnya.

Karena itu, peringatan hari kemerdekaan merupakan keniscayaan yang tidak boleh ditolak dan diingkari. Melalui peringatan—yang tentu nilainya jauh melampaui sekadar perayaan—generasi penerus bangsa disadarkan akan pentingnya menghargai jasa-jasa para pahlawan pejuang kemerdekaan yang tidak pamrih dalam mengorbankan harta, darah dan nyawa. Sebagaimana pesan Sang Proklamator dan Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno, bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya”.

Sekaligus untuk menyadarkan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 itu, bukanlah hadiah atau pemberian dari penjajah. Kemerdekaan itu merupakan hasil perjuangan berdarah-darah. Maka sudah selayaknya, apa yang sudah diraih ini harus terus dijaga, dipertahankan dan dirawat secara sungguh-sungguh. Jangan ada pengkhianatan dalam bentuk apapun dalam mengiringi perjalanan Indonesia sebagai negeri yang merdeka dan berdaulat.

Peran umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia

Umat Islam merupakan umat mayoritas di negeri ini. Karena itu, tidak dinafikan bahwa umat Islam memiliki peran penting dan sentral dalam perjuangan kemerdekaan, baik dalam hal konfrontasi fisik maupun melalui cara diplomasi. Maka tidak berlebihan jika kita berusaha memahami kemerdekaan melalui perspektif Islam. Bagi umat Islam, kemerdekaan memiliki makna yang mendalam dan luas. Bukan hanya merdeka dalam arti fisik, tetapi juga kemerdekaan dalam hal jiwa, pikiran dan keimanan.

Keberadaan Islam di Indonesia tidak hanya terlihat dari kemayoritasannya, namun—lebih dari itu adalah—penyatuannya nilai-nilai moral Islam dan menjadi bagian tak terpisahkan dari nilai-nilai luhur budaya bangsa. Dalam buku “Perjuangan Yang Dilupakan” karya Rizki Lesus (2017) dikutip pernyataan Soekarno bahwa ‘Antara negeri-negeri Arab dan Indonesia mudah tercapai perhubungan persaudaraan yang kekal, karena antara kita timbal balik ada terdapat pertalian agama’.

Adanya kalimat “Atas berkat rahmat Allah…….” pada alinea ketiga Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga merupakan penegas akan keterlibatan langsung atau tidak langsung umat Islam dalam perjuangan bangsa.

Memahami hal tersebut, maka sesungguhnya kemerdekaan bukanlah sekadar kebebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan—kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan dan sebagainya—yang merendahkan harkat dan martabat manusia.

Hanya saja yang masih menjadi catatan serius, kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan masih menjadi persoalan akut. Usia kemerdekaan yang sudah berjalan delapan puluh tahun ini, secara faktual belum mampu melenyapkan ketiga persoalan umat dan bangsa itu.

Islam merupakan agama pembebas dari segala ragam penindasan dan penjajahan. Konsep ini memberikan pemahaman bahwa memerdekakan adalah: 1) membebaskan manusia—sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah sebagai makhluk terbaik—dari kekuasaan yang zalim, barbar serta menindas, dan 2) membebaskan jiwa serta pikiran manusia dari belenggu kebodohan, kemiskinan, dan kerusakan moral atau akhlak. Kemerdekaan, dalam perspektif Islam, merupakan pondasi peradaban yang adil, beradab, dan berkeadilan sosial.

Nilai Islam sebagai inti kemerdekaan

Menapaki usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, tantangan umat Islam dan bangsa Indonesia tidak semakin ringan. Penjajahan tidak serta-merta hilang dari muka bumi. Sebaliknya, penjajahan menjelma dalam beragam wajah. Dengan masih membuminya praktik-praktik penjajahan, kemuliaan nilai-nilai kemanusiaan pun menjadi seringkali dilanggar.

Jika pada penjajahan konvensional lebih banyak menekankan penindasan fisik, eksploitasi tenaga manusia, maka pada era sekarang yang menonjol adalah penjajahan ekonomi berupa ketidakadilan ekonomi, penjajahan alam berupa eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada kerusakan lingkungan, penjajahan sosial dalam bentuk polarisasi sosial, dan penjajahan budaya yang mewujud dalam bentuk pelemahan identitas bangsa yang luhur.

Ironisnya, fenomena seperti itu dianggap sebagai fenomena yang lumrah dan risiko. Dengan pemikiran yang picik dan sempit, ketidakberdayaan umat dan bangsa dalam menjalani kehidupannya dianggap sebagai keniscayaan yang harus diterima sebagai sunnatullah—bukan untuk diingkari atau dilawan.

Berkaitan dengan problematika yang ada, ajaran Islam menawarkan solusi komprehensif yang relevan dengan kemodernan. Nilai Islam merupakan energi positif yang memiliki daya dorong pada bidang pendidikan, pemberdayaan ekonomi, serta penegakan keadilan sosial. Melalui berbagai ajaran dan praktik, Islam berupaya menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan berpengetahuan.

Melawan kejumudan berpikir, Islam sangat menekankan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan. Al-Quran dan hadis mendorong umat Islam untuk mencari ilmu dari buaian hingga liang lahat. Melalui pendidikan, baik agama maupun umum, kunci untuk membebaskan masyarakat dari kebodohan dan meningkatkan kualitas hidup sudah ada di tangan.

Melalui pemberdayaan ekonomi umat, Islam menyodorkan sistem ekonomi yang komprehensif untuk mengatasi kemiskinan. Konsepsi Islam tentang zakat, infak, sedekah, dan larangan riba merupakan konsep yang sangat ideal. Melalui zakat, sebagai contoh, umat Islam yang mampu wajib memberikan sebagian hartanya kepada yang membutuhkan, sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi. Selain itu, Islam juga mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui berbagai usaha dan kegiatan produktif.

Islam sangat menentang segala praktik yang berkontribusi pada timbulnya ketidakadilan dan penindasan. Sebaliknya, Islam sangat menekankan pada pentingnya menegakkan keadilan—pada semua aspek kehidupan—termasuk pada bidang sosial, ekonomi, dan politik. Islam juga merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan hak dan kesempatan bagi semua individu, tanpa memandang suku, ras, golongan maupun agama.

Dalam sudut pandang Islam, negeri atau bangsa yang berhasil memerdekakan rakyatnya dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan adalah negeri yang baldatun thayyibatun wa robbun ghofur—negeri yang ideal sebagai perwujudan negeri yang makmur, aman, penuh keberkahan dan sangat sedikit terjadinya perilaku-perilaku zalim dan lalim. Negeri yang para pemimpinnya amanah, dan rakyatnya yang penuh dengan syukur.

Menjaga elan vital kemerdekaan

Kemerdekaan negeri ini diperoleh melalui perjuangan yang tak kenal lelah dan putus asa. Kerelaan para pejuang dengan mengorbankan harta, raga, darah dan jiwa harus dihormati dan dihargai. Bagaimana cara menghargainya? Yaitu dengan mempersiapkan generasi pewaris yang berkualitas dan memiliki jiwa nasionalis yang tinggi. Generasi penerus harus dikenalkan terhadap nilai-nilai luhur, martabat dan kesadaran tentang estafet berkelanjutan.

Karena itu, menjaga harmoni antara rakyat dan pemerintah, serta antara yang tua dan yang muda merupakan salah satu upaya untuk menjaga agar tongkat estafet tidak terputus. Yang tua jangan merasa terus berdaya sehingga mengabaikan aspek estafet, yang muda pun jangan merasa belum waktunya—sehingga mengabaikan waktu belajar.

Pendek kata, mengisi kemerdekaan ini, sebagai umat Islam Indonesia seharusnya tidak sekadar hanya mengenang jasa para pahlawan. Marilah berkomitmen mengaktualisasikan semangat kemerdekaan itu dalam kehidupan sehari-hari—memerdekakan diri dan masyarakat dari perbudakan nafsu, ketidakberdayaan dalam kebodohan, belenggu kemiskinan, ketidakberdayaan mendapatkan perilaku adil, dan kemerosotan akhlak.***

*Penulis adalah Abdullah Sidiq Notonegoro, M.Pd.I, Anggota Komisi Dakwah, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat MUI Kabupaten Gresik