
CAKRAWALA MUSLIM – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Gresik menggelar Workshop Pendidikan bertema “Stop Bullying: Membangun Lingkungan Pendidikan yang Aman dan Ramah” di Pondok Pesantren Manbaul Ulum, Jl. Raya Mojopurogede No. 39 Bungah, pada Rabu, (18/6/2025).
Kegiatan ini diikuti oleh para praktisi pendidikan dari berbagai sekolah dan pesantren se-Kabupaten Gresik, dan menghadirkan narasumber utama, Prof. Dr. Mutimmatul Faidah, S.Ag., M.Ag., akademisi Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Dalam paparannya, Prof. Mutim menekankan bahwa pencegahan bullying harus melibatkan empat pilar penting: keluarga, lembaga pendidikan, lingkungan sosial, dan negara. Ia menyampaikan bahwa pondasi utama keberhasilan pendidikan anak dimulai dari rumah yang sehat dan penuh perhatian.
“Jangan sampai anak menjadi motherless atau fatherless. Kalau rumah tidak hadir, anak akhirnya diasuh oleh konten digital, bukan lagi oleh orang tuanya,” tegasnya di hadapan peserta.
Ia menjelaskan bahwa sekolah dan pesantren memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak. Menurutnya, pendidikan karakter, penguatan nilai-nilai anti-kekerasan, serta pengawasan sosial harus terus dihidupkan. Ia menambahkan bahwa lingkungan sosial, termasuk peran tokoh masyarakat dan lembaga seperti MUI, harus menjadi kontrol sosial yang aktif terhadap perilaku kekerasan di tengah masyarakat. Sedangkan negara, lanjutnya, wajib hadir dengan regulasi yang adil dan tindakan tegas saat terjadi penyimpangan.
“Persoalan bullying tidak bisa hanya dilihat dari sisi anak yang nakal atau bermasalah. Banyak anak bermasalah itu karena orang tuanya abai, masyarakat tidak peduli, dan negara tidak melakukan pencegahan. Tapi kita tidak boleh patah hati,” kata Perempuan asli Manyar, Gresik ini.
Prof. Mutim mencontohkan fenomena yang sering terjadi, di mana anak-anak yang dianggap nakal oleh orang tuanya kemudian dikirim ke pesantren dengan harapan bisa langsung berubah. Namun, menurutnya, hal itu justru bisa memicu masalah baru jika tidak ditangani dengan pendekatan psikologis.
“Anak itu datang dalam keadaan ‘sakit’. Ketika masuk pesantren, dia berinteraksi dengan anak-anak lain yang punya latar belakang serupa, akhirnya malah membentuk koloni sendiri. Terjadilah bullying, pemalakan, bahkan kekerasan antar-santri. Maka, pesantren harus memiliki asesmen psikologis bagi santri baru, minimal ada data awal dari orang tuanya,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi guru atau ustad yang kini merasa takut menegur murid karena khawatir akan dilaporkan, bahkan sampai ada Guru yang akhirnya menjadi apatis.
“Terkait definisi bullying, bahwa perundungan adalah kekerasan, baik fisik maupun psikis, yang terjadi berulang-ulang dan berdampak serius pada mental korban. Bentuknya bisa berupa penganiayaan, penguntitan, penyebaran rumor, pemerasan, dan mempermalukan korban di depan umum. Siapa pun bisa menjadi korban atau pelaku,” kata Prof. Mutim.
Ia menyarankan agar setiap sekolah atau pesantren membentuk tim khusus penanganan kekerasan yang memiliki program pencegahan, edukasi, sosialisasi, dan penanganan yang tepat. Menurutnya, banyak kasus yang menjadi viral di media sosial karena tidak ditangani dengan benar sejak awal.
“Kalau ada kasus, jangan ditutup-tutupi. Menutup kasus sama saja membuka peluang viral. Selesaikan dengan terbuka, pelaku diberi sanksi, korban didampingi. Orang tua dipanggil, tapi jangan dipertemukan. Prosesnya harus adil dan sesuai prosedur,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI Gresik, H. Hamdun Roichan, M.Si., menyampaikan bahwa workshop ini sangat penting untuk memperjelas batas-batas perundungan bagi para praktisi pendidikan. Ia menyatakan bahwa hasil dari kegiatan ini akan menjadi dasar penyusunan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Gresik.
“Setelah kegiatan ini, kita akan menyusun rekomendasi untuk mengoptimalkan pelaksanaan Perda Kabupaten Gresik Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan,” ujarnya.
Kegiatan yang digagas oleh Komisi Pendidikan dan Kaderisasi bersama Komisi Pemberdayaan Perempuan, Anak, dan Keluarga MUI Gresik ini menjadi bentuk nyata kepedulian MUI terhadap dunia pendidikan. Melalui forum ini, MUI Gresik ingin menegaskan perannya sebagai pelayan dan pelindung umat (khodimul ummah dan himayatul ummah), khususnya dalam membangun lingkungan pendidikan yang aman, sehat, dan bebas dari perundungan. (is/cm)