50 Tahun MUI Menjaga Islam, Pancasila dan NKRI

0
2
Foto: Prof. Dr. H. Abdul Chalik, M.Ag, Wakil Ketua Umum MUI Kabupaten Gresik sekaligus Guru Besar Ilmu Politik Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. (Ist)

Tepat 26 Juli 2025, Majelis Ulama Indonesia (MUI) berusia 50 tahun. Usia yang menggambarkan kedewasaan dan kematangan dalam menghadapi segala persoalan. Usia yang sudah teruji mengelola dua ratus tiga puluh juta lebih umat agar keimanan dan keislaman tetap terjaga, dan keislaman mereka tidak tercerabut dari keindonesiaan yang sarat dengan kebhinnekaan.

MUI merupakan majelis yang menghimpun para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim Indonesia ini tidak ujug-ujug lahir. Tercatat, ada 26 ulama mewakili tiap provinsi, 10 ulama dari Ormas Islam pusat, 4 orang dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI, serta 13 tokoh. Mereka para cendekiawan berkumpul di Jakarta pada 26 Juli 1975, dan melahirkan “Piagam Berdirinya MUI”.

Dalam konteks sosial politik, berdirinya MUI tepat ketika bangsa ini dalam fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun kemerdekaannya. Selama itu pula, energi bangsa lebih banyak terkuras dalam perjuangan politik kelompok. Akibatnya, masalah kesejahteraan rohani umat terpinggirkan. Kelahiran MUI menjadi jawaban atas lahan kosong yang belum tergarap saat itu.

Salah satu tantangan besar MUI sejak berdiri adalah menjaga Islam itu sendiri, atau Hifdzu Ad-Diin. Buya Hamka, Ketua MUI pertama, menyampaikan bahwa salah satu alasan MUI harus berdiri adalah konstelasi politik global yang tidak menentu saat itu, terutama perkembangan komunisme. Dalam pandangan Hamka, untuk menjaga kemurnian Islam di Indonesia, maka berdirinya MUI menjadi kepentingan mendesak dari umat Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia.

Beragamnya faham keagamaan di Indonesia juga tidak bisa dinafikan sebagai salah satu tantangan. Catatan sejarah resistensi DI/TII dan PRRI tidak bisa begitu saja dilupakan. Apalagi dampak globalisasi yang membawa anak kandung bernama terorisme, radikalisme, liberalisme dan pragmatisme yang tidak boleh dipandang sebelah mata.

Peran strategis MUI selanjutnya adalah merawat Pancasila agar nilai-nilai yang ada di dalamnya tidak tergerus atau ternegasikan dengan Islam. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pidato terkenal M. Yamin, yang menyatakan bahwa Pancasila dan Al-Qur’an itu tidak pernah bertentangan, serta petuah KH. Hasyim Asyari, bahwa dakwah Islam dan spirit nasionalisme itu saling mendukung. Maka dalam bernegara, MUI selalu memainkan peran menjadi jembatan nan arif bijaksana, bagi mereka yang menggugat Pancasila sebagai dasar negara. Karena tugas MUI adalah menjadi aktor penengah dalam bernegara, agar negara tetap dalam koridor kemaslahatan umat.

MUI juga menyadari, bahwa Islam tidaklah agama tunggal di Indonesia, Islam berkelindan dengan banyak kepercayaan lain di Indonesia. MUI amatlah concern menjaga konsep Islam yang membawa nilai perdamaian, toleransi, nasionalisme, persatuan dan keadilan. Sehingga kehadiran MUI tidak menciptakan disparitas akidah sesama muslim dan bisa merangkul semua warga negara yang berbeda agama atau keyakinan. Keteguhan MUI untuk terus mengembangkan sikap berbaik sangka (husnuzh-zhann), pemahaman positif (husnut-tafahum) dan sikap toleransi (tasamuh) ini, menjadi senjata ampuh untuk terus menjaga persaudaraan keislaman (ukhuwah islamiyah) dan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah) dalam bingkai kebhinekaan.

Selama 50 tahun MUI terbukti bisa memainkan peran utamanya, yaitu menjaga Islam, Pancasila dan keutuhan NKRI. Dalam membingkai ketiganya, MUI melakukannya dengan pendekatan islam wasathiyah, yaitu konsep jalan tengah, yang tentu tidak sama dengan konsep the middle way atau the middle path dalam ekonomi konvensional.

Dalam memahami konsep Islam wasathiyah, MUI menempuh pendekatan yang menekankan prinsip keseimbangan atau al-tawazun. Pendekatan ini dimaknai sebagai upaya menyeimbangkan dua kutub yang saling berhadapan atau bahkan bertentangan. Misalnya, MUI mendorong keseimbangan antara dimensi spiritual (ruhiyah) dan aspek material (madiyah) dalam kehidupan, agar manusia tidak terjebak pada ekstremitas duniawi atau terlalu melangit secara ruhani.

Selain itu, Islam wasathiyah juga mengajarkan keharmonisan antara hak individu (fardiyyah) dan kepentingan bersama atau kolektif (jama’iyyah). Tidak hanya itu, pendekatan ini juga menempatkan pentingnya keseimbangan antara pemahaman tekstual terhadap ajaran agama dengan realitas kontekstual (waqi’iyyah) yang terus berkembang. Islam wasathiyah juga mengajak umat untuk mampu menjaga konsistensi terhadap nilai-nilai tetap (tsabat) sambil tetap terbuka terhadap perubahan dan dinamika zaman (taghayyur).

Lima puluh tahun kedepan, MUI akan berhadapan dengan tantangan-tantangan yang lebih berat. Bukan hanya menjaga keimanan umat, namun bagaimana umat bisa semakin kuat, terutama dalam konteks ekonomi, karena Islam memiliki cita-cita tinggi dan ideal untuk menyejahterakan umat, bukan hanya di akhirat, tapi juga di dunia. MUI, bersama pemerintah harus mulai mengakrabkan diskursus pembangunan ekonomi berbasis pemberdayaan umat, dengan pendekatan pro-poor growth, yaitu pembangunan ekonomi yang benar-benar memberi manfaat nyata bagi masyarakat lapisan bawah, yang tentu harus dijalankan sesuai prinsip-prinsip syariah.

Sekali lagi, selamat Milad MUI ke-50 Tahun. Saya bangga menjadi bagian Majelis Ulama Indonesia!

*Penulis adalah Prof. Dr. H. Abdul Chalik, M.Ag, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Gresik sekaligus Guru Besar Ilmu Politik Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.