CAKRAWALA MUSLIM – Setiap datangnya bulan Safar dalam kalender Hijriah, sebagian masyarakat Jawa, terutama Gresik masih memegang teguh sebuah tradisi yang dikenal dengan sebutan Rabo Wekasan. Tradisi ini diyakini sebagai upaya menolak bala yang dipercaya turun pada Rabu terakhir bulan Safar.
Ketua Umum MUI Kabupaten Gresik, KH. Ainur Rofiq Thoyyib menuturkan, bahwa tradisi ini terus dilestarikan oleh masyarakat.
“Di bumi Indonesia ada sebuah tradisi, kepercayaan bahwa bulan Safar adalah bulan yang kurang baik (bulan sial), sehingga perkawinan tidak dilangsungkan pada bulan ini. Lebih jauh lagi, pada penghujung bulan ada bala (penyakit) dan menurut ahli kasiyaf (orang basyirah sirrinya telah dibuka oleh Allah hingga dapat mengetahui hal yang tidak tampak) dan ahli tamkin (orang yang mapan di tingkat maqam makrifat) kesialan yang diturunkan ke dunia,” jelas Kiai Rofiq, pada Selasa (19/8/2025).
Lebih lanjut, Beliau juga menjelaskan, bahwa pada ada banyak penyakit yang diturunkan pada Rabu terakhir bulan Safar.
“Penyakit yang jumlahnya ratusan ribu (320.000 bala) itu diturunkan ke dunia pada Rabu terakhir pada bulan Safar. Dalam bahasa Jawa, terakhir disebut wekasan. Maka jadilah nama Rabu Wekasan atau Rabo Wekasan. Di Sunda dan di Jawa, terutama di Gresik, Rabu Wekasan disebut Rabo Kasan,” tutur Kiai Rofiq, di Kantor MUI Kabupaten Gresik.
Masih menurut Kiai Rofiq, pada momen Rabo Wekasan, masyarakat biasanya menggelar ritual tolak bala.
“Pada Rabo Wekasan atau Rabo Kasan, sebagian besar orang Islam di Nusantara, terutama di Pulau Jawa dan Madura, terutama Gresik, sering mengadakan ritual tolak bala, menolak penyakit yang diturunkan pada malam tersebut,” ujarnya.
Mengenai ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat, juga di jelaskan oleh KH. Ainur Rofiq.
“Ritualnya biasanya dengan melaksanakan shalat sunah mutlak (yang pada momen ini disebut shalat tolak bala), membaca Surah Yasin, dan melafalkan doa Rabo Kasan. Dan ada bacaan dan doa yang lain yang dituntun tokoh masyarakat setempat,” sambungnya.
Soal hukum melaksanakan tradisi ini, Kiai Rofiq juga memberikan pandangannya.
“Bagi al-faqir bagaimana itu hukumnya? Ya boleh-boleh saja sebagai ikhtiar dan jaga-jaga. Yang tak kalah pentingnya adalah jangan melupakan sedekah karena sedekah itu bisa menolak bala,” kata beliau.
Selain masyarakat umum, Kiai Rofiq juga berpesan agar para pejabat bisa ikut serta dalam menjaga tradisi ini.
“Juga bagi para pejabat ya bisa buat tumpengan di tempat tugasnya, untuk keselamatan bangsa, agar Indonesia bisa aman dari berbagai musibah. Mudah-mudahan doa masyarakat Indonesia di hari Rabo Wekasan dikabulkan oleh Allah, hingga masyarakatnya jadi aman sejahtera, dijauhkan dari berbagai macam bala, ” pungkas Kiai Rofiq. (is/cm)