
OPINI – “Natural selection is being replaced by intelligent design” — Seleksi alam sedang digantikan oleh rancangan cerdas (kecerdasan buatan, AI).
Kalimat Yuval Noah Harari ini terdengar seperti gong pembuka sebuah drama besar peradaban: manusia mulai merasa mampu mengatur arah evolusi, menggantikan mekanisme alam yang selama ini dipahami melalui teori evolusi Charles Darwin. Darwin menggambarkan bahwa perubahan makhluk hidup berlangsung perlahan melalui seleksi alam, tanpa campur tangan langsung dari perancang sadar. Dalam teorinya, evolusi manusia berlangsung karena “seleksi alam” (natural selection): siapa yang kuat, adaptif, dan sesuai dengan lingkungan, akan bertahan dan berkembang biak.
Kini, Harari mengklaim bahwa manusia mulai mengambil alih peran itu: mendesain spesies baru, memodifikasi gen, menciptakan kecerdasan buatan (AI) yang bisa mengungguli manusia.
Harari dengan tegas menolak bahwa “intelligent design” di sini adalah desain Tuhan. Yang ia maksud adalah desain ilmuwan dan insinyur—yakni manusia sendiri. Ini sekaligus satire terhadap teologi Intelligent Design (pandangan bahwa alam semesta dirancang oleh Tuhan), yang Harari anggap tidak lagi relevan.
Namun, dalam pandangan Islam, baik Darwinisme maupun desain cerdas versi Harari (Akal Imitasi, AI) sama-sama cacat secara teologis: keduanya menggeser peran Tuhan sebagai Pencipta. Darwin meniadakan Tuhan dengan menyerahkan penciptaan pada mekanisme alam buta, sementara Harari menggantikannya dengan kehendak insinyur dan algoritma.
Kritik kita : Inilah bentuk sekularisasi penciptaan—manusia merebut fungsi Tuhan, bukan hanya sebagai makhluk, tetapi sebagai pencipta baru.
Padahal Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (QS Al-Qamar: 49). Penciptaan bukan hasil kebetulan, bukan pula proyek ego manusia, melainkan bagian dari rancangan ilahi yang penuh hikmah.
Bagi Harari, masa depan bukan tentang surga atau akhirat, tapi tentang data, algoritma, dan kecerdasan buatan, AI. Tuhan telah digeser. Kini, yang bertakhta di “langit digital” adalah Mbah Google dan keturunannya: big data, AI generatif, dan machine learning.
Ketika AI digunakan tanpa etika dan kesadaran spiritual, ia bukan lagi sekadar alat, tetapi berubah menjadi “bandit digital” yang merampas martabat, privasi, dan bahkan hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Kekhawatiran Elon Musk pun mulai terbukti—“With artificial intelligence, we are summoning the demon” — Dengan kecerdasan buatan (AI), kita sedang memanggil iblis. Sebuah metafora yang menggambarkan betapa berbahayanya jika AI lepas kendali, apalagi jika jatuh ke tangan orang yang tak punya rem moral.
“Summoning the demon” (memanggil setan) merujuk pada ide dalam cerita-cerita kuno di mana manusia berusaha memanggil kekuatan besar untuk keuntungan pribadi, tetapi berakhir menjadi bencana karena kekuatan itu tak bisa dikontrol.
Dalam konteks ini, AI adalah kekuatan dahsyat yang sedang dibangkitkan oleh manusia melalui teknologi.
Tapi seperti “setan” dalam mitologi, AI bisa berbalik melawan penciptanya jika tidak diatur dengan bijaksana.
Poin penting dari Musk: Meskipun Musk juga seorang teknolog dan pebisnis besar di bidang AI dan robotik, ia sering mengingatkan dunia bahwa:
AI bisa melampaui kecerdasan manusia dalam banyak aspek.
Bila AI dibiarkan berkembang tanpa kerangka etika, hukum, atau spiritual, maka ia bisa menjadi ancaman eksistensial bagi umat manusia.
Maka, “memanggil setan” adalah peringatan moral dan intelektual — bahwa kekuatan besar butuh tanggung jawab besar. Musk menyadari bahwa manusia sedang membuka pintu pada sesuatu yang bisa lepas kendali. Ia menyebut AI lebih berbahaya daripada senjata nuklir. Tapi kita tetap bermain-main dengan kode, karena viral lebih menggoda daripada bijaksana.
Salah satu bentuknya adalah deepfake: teknologi yang mampu membuat video atau foto palsu seolah nyata. Tidak cuma artis yang jadi korban; seorang ibu rumah tangga, guru, atau aktivis pun bisa tiba-tiba diserang dengan konten mesum yang sama sekali tidak pernah ia lakukan. Reputasi hancur, harga diri tercabik, dan kebenaran tenggelam di tengah lautan algoritma yang tak berperasaan.
Teknologi yang semula dipuji karena kemampuannya merekayasa gambar dan video untuk hiburan atau industri kreatif, kini dipakai oleh bandit digital untuk melakukan perampokan identitas dengan motif balas dendam, pemerasan, hingga membungkam suara yang dianggap mengganggu.
Menurut laporan Tempo (8/8/2025), lonjakan konten deepfake pornografi non-konsensual terjadi secara global. Hampir 99% korbannya adalah perempuan, dan sebagian besar bukan figur publik. Hanya dengan satu foto wajah—bahkan yang diambil dari media sosial—AI mampu memproduksi video palsu dengan kualitas visual yang meyakinkan. Bagi korban, dampaknya destruktif: reputasi hancur, pekerjaan terancam, hubungan sosial retak, dan trauma psikologis yang membekas lama.
Motif para pelaku pun beragam. Ada yang sekadar memuaskan fantasi gelap, ada yang menjadikannya senjata balas dendam terhadap mantan pasangan, dan tidak sedikit yang menggunakannya untuk pemerasan. Lebih mengerikan lagi, ada kasus di mana deepfake dipakai sebagai alat politik: merusak citra lawan dengan menebar video mesum palsu di tengah masa kampanye. Inilah wajah baru kejahatan digital yang memadukan teknologi canggih dengan mentalitas preman pasar.
Bagaimana pandangan Islam?
Islam tak anti teknologi. Tapi Islam menolak menuhankan mesin. Dalam Al-Qur’an, manusia disebut:“Diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. al-Nisā’: 28),
Maka AI yang lahir dari manusia, pasti membawa cacat bawaan: bias, ego, ambisi, dan keterbatasan. Seberapa cerdas pun mesin, ia tetap benda buatan. Google Maps saja kadang menyesatkan kita ke jurang, seperti kasus BMW terjun bebas dari tol Gresik — apalagi AI yang mengatur sistem keuangan, militer, dan agama.
Imam al-Ghazālī sudah mengingatkan:
“Akal adalah cahaya, tapi ia butuh wahyu untuk menerangi jalannya.” Tanpa wahyu, akal bisa membenarkan kesesatan.
Mohammad Arkoun, pemikir Muslim kontemporer, menyoroti bahaya “nalar tunggal” (la pensée unique): sebuah cara berpikir teknokratis yang menolak hal-hal di luar hitungan dan statistik.
Baginya, data tak bisa menjawab: “Apakah cinta ibuku bisa diukur dengan sinyal otak?”, “Kenapa saya harus jujur jika dunia hanya algoritma?”.
Arkoun menyerukan agar umat Islam membangun kembali nalar spiritual, yang menggabungkan akal dan wahyu — bukan sekadar kagum pada sains, lalu terjerembab dalam ateisme digital.
Di Australia, negara bagian New South Wales telah mengajukan undang-undang yang memungkinkan pelaku pembuatan dan distribusi deepfake seksual non-konsensual dihukum hingga 3 tahun penjara. Beberapa negara Eropa bahkan mulai melibatkan interpol untuk memburu pembuat konten semacam ini lintas batas negara. Di Indonesia, payung hukum memang ada—KUHP, UU ITE, UU Pornografi, UU Perlindungan Data Pribadi—namun belum ada pasal yang secara spesifik menyasar deepfake, sehingga penegakan hukumnya kerap lambat dan sulit.
Masalahnya, teknologi deepfake berkembang jauh lebih cepat daripada kemampuan regulasi mengejarnya. AI generatif semakin mudah diakses, antarmukanya ramah pengguna, dan sebagian besar dijalankan secara anonim di server luar negeri. Butuh kombinasi antara regulasi yang jelas, kerja sama internasional, dan literasi digital yang kuat untuk menekan penyalahgunaannya.
Selain aspek hukum, ada sisi sosial-psikologis yang tak kalah penting. Masyarakat perlu memahami bahwa deepfake bukan sekadar “lucu-lucuan” atau “sekadar iseng”. Bagi korban, ini adalah pelanggaran martabat, perampasan identitas, dan kekerasan berbasis gender yang nyata. Korban kerap mengalami depresi, rasa malu mendalam, bahkan kehilangan kepercayaan pada lingkungan sekitar. Penanganan korban harus mencakup bantuan psikologis, dukungan hukum, dan pemulihan sosial.
Kita juga harus mengakui: melawan deepfake tidak mungkin dilakukan hanya dengan mengandalkan pemerintah atau aparat hukum. Platform media sosial, penyedia layanan cloud, dan pengembang AI punya tanggung jawab moral untuk membangun sistem deteksi, menghapus konten berbahaya, dan memblokir akun pelaku. Tanpa itu, laju produksi dan penyebaran deepfake akan selalu lebih cepat daripada proses penindakan.
Namun, di atas semua itu, benteng terakhir selalu ada pada kesadaran masyarakat. Literasi digital yang kokoh akan membuat orang lebih kritis sebelum mempercayai atau menyebarkan konten yang memicu sensasi. Kesadaran ini tak lahir begitu saja, ia dibentuk oleh nilai dan ajaran yang telah lama menjadi fondasi moral bangsa. Dalam agama, membuat fitnah dan menyebarkannya adalah dosa besar; menodai nama baik seseorang sama saja meruntuhkan kehormatan yang Allah Swt perintahkan untuk dijaga. Kesadaran moral itu perlu dipelihara, bukan hanya di mimbar-mimbar ibadah, tetapi juga dalam ruang kelas, forum kampus, dan diskusi komunitas.
Di sisi lain, kesadaran masyarakat akan rapuh tanpa keberanian negara menegakkan hukum. Penegakan harus setegak mungkin—tidak pandang bulu, tidak tunduk pada tekanan—agar setiap pelaku penyebaran fitnah digital, termasuk melalui deepfake, memahami bahwa dunia maya bukan ruang bebas tanpa konsekuensi. Perpaduan antara akhlak yang ditanamkan sejak dini dan hukum yang ditegakkan tanpa kompromi akan menjadi pagar terkuat, melindungi martabat manusia dari bandit-bandit digital yang bermain di balik layar algoritma.
Kita tidak bisa menghentikan kemajuan AI, tetapi kita bisa menentukan arah penggunaannya. Apakah ia akan menjadi alat yang memperkaya kehidupan manusia, atau menjadi senjata perampok martabat yang memporak-porandakan hidup orang lain? Pilihannya ada di tangan kita semua.
Deepfake bukan sekadar tantangan teknologi; ini adalah ujian moral peradaban
Maka tugas umat Islam hari ini bukan mencaci teknologi, tapi menjaga agar nilai-nilai spiritual tidak digantikan oleh kode biner. Umat Islam harus hadir — dengan hujjah filosofis, etis, dan ruhani — dalam arus perubahan ini.
Sebagaimana Harari bicara dengan kepercayaan bahwa manusia bisa menjadi “dewa baru”, kita menjawab dengan firman Tuhan: Allah tempat meminta (dan bergantung) segala sesuatu.
( QS Al-Ikhlāṣ [112]:2)
Dunia tidak sedang menuju Homo Deus. Dunia sedang menuju Homo Lupa Diri. Yang lupa bahwa ia lemah, fana, dan bukan pusat dari segalanya. Kita tidak butuh Harari baru. Kita butuh kesadaran lama: Bahwa hidup ini bukan sekadar data. Tapi ujian. Dan ujian tak bisa dijawab oleh mesin.
Google, AI, maupun Harari sendiri tidak akan pernah tahu — dengan pasti — di mana dan kapan Harari akan mati, apalagi bagaimana akhir hidupnya.
Inilah batas epistemologis fundamental dalam seluruh proyek sains dan teknologi:
Tak satu pun sistem berbasis data, secerdas apapun, bisa menembus rahasia takdir Ilahi. Meskipun mereka membanggakan prediksi, proyeksi, dan simulasi probabilistik, mereka tetap buta terhadap keputusan Tuhan, terhadap apa yang disebut al-ghayb — yang ghaib.
*Penulis adalah KH. Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik sekaligus Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik.