Mencegah “Grey Divorce”: Merawat Cinta di Senja Usia

0
3
Foto: KH. Ahmad Chuvav Ibriy*. (ist)

OPINI – Perceraian di usia senja makin sering terjadi, bahkan kadang hanya dipicu hal-hal sepele. Padahal, pernikahan adalah mīṯāqan ghalīẓan—perjanjian agung di hadapan Allah Swt. Tulisan ini mengajak kita menengok ulang arti setia, merawat kasih di usia renta, dan bagaimana ajaran Islam memberi bekal agar pasangan tetap bahagia hingga akhir hayat.

Fenomena grey divorce atau perceraian di usia senja, dalam istilah sosiologi keluarga, merujuk pada perpisahan pasangan yang sudah menikah puluhan tahun, biasanya di atas usia 50 tahun. Istilah ini pertama kali populer di Amerika Serikat ketika angka perceraian pada kelompok usia lanjut melonjak tajam sejak awal 2000-an.

Padahal, lazimnya usia senja dianggap sebagai masa panen kebahagiaan rumah tangga setelah melewati lika-liku kehidupan bersama. Pernikahan yang sudah terjalin puluhan tahun semestinya justru menjadi ladang ketenangan, tempat bernaung dalam kehangatan, bukan panggung perpisahan.

Namun realitas menunjukkan, justru pada masa itu sebagian pasangan memilih berpisah, baik karena konflik lama yang terpendam, kehilangan arah setelah anak-anak mandiri, maupun karena hal-hal sepele yang tidak terkelola dengan baik.

Data dari putusan dan arsip pengadilan di Jawa Timur memperlihatkan hal serupa. Dalam salah satu perkara di Pengadilan Agama Surabaya, pihak yang bercerai tercatat sudah berusia lanjut—bahkan ada yang mencapai 75 tahun. Laporan lain dari Jember dan Bojonegoro juga menyebutkan pasangan berusia di atas 55 tahun yang mengakhiri rumah tangganya. Potongan kasus-kasus ini menegaskan bahwa perceraian pada lansia bukan sekadar wacana, melainkan fakta yang terekam dalam dokumen resmi pengadilan di Jawa Timur sendiri.

Lebih jauh lagi, jika ditarik ke level nasional, angka perceraian tahun 2023 mencapai 463.654 kasus. Seandainya hanya 5 persen saja di antaranya melibatkan pasangan berusia di atas 50 tahun, berarti ada lebih dari 23 ribu pasangan lansia yang memilih berpisah dalam setahun. Jumlah itu jelas bukan kecil. Puluhan ribu keluarga di usia senja harus menanggung luka perpisahan yang mestinya bisa dihindari. Fenomena inilah yang oleh para sosiolog keluarga disebut sebagai grey divorce.

Al-Quran menggambarkan tentang pasangan hidup sebagai berikut :
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Qs. Ar-Rum ayat 21)

Mawaddah artinya: rasa cinta, sedangkan rahmah : kasih sayang. Sebagian ulama berkata: mawaddah itu pada masa muda (ketertarikan, cinta), sedangkan rahmah itu pada masa tua (kasih sayang, kelembutan). (Tafsir al-Ṭabarī)

Di negeri-negeri Barat, kita melihat bagaimana pasangan terkenal seperti Bill Gates dan Melinda berpisah setelah 27 tahun menikah, atau Hugh Jackman dengan Deborra-Lee Furness setelah 27 tahun membangun rumah tangga. Di balik gemerlap dunia mereka, ternyata usia pernikahan yang panjang pun tak selalu menjamin kebersamaan sampai tua. Sebab-sebabnya beragam: ada yang merasa kehilangan arah setelah anak-anak mandiri, ada yang berbeda pandangan soal keuangan, ada pula yang sekadar “tidak bahagia lagi”.

Fenomena serupa juga terjadi di tanah air. Tidak jarang pasangan di kampung atau kota memilih berpisah di usia tua. Ada yang karena hal besar: perselingkuhan, penyakit menahun yang membuat salah satu merasa lelah, atau perebutan harta warisan. Namun ada juga yang penyebabnya sangat sepele. Saya pernah mendengar kisah sepasang lansia yang bertengkar hebat hanya karena perbedaan selera masakan—sang suami suka pedas, istrinya tidak tahan cabai —hingga akhirnya berujung pisah ranjang (kok tidak dulu waktu awal pernikahan ?). Ada pula pasangan yang renggang karena sang suami terlalu asyik dengan hobi burung perkutut, sementara istrinya merasa diabaikan.

Kalau dicermati, penyebab grey divorce sering berkisar pada tiga hal. Pertama, faktor ekonomi. Banyak pasangan lansia masih terjerat utang atau hidup pas-pasan sehingga mudah bertengkar karena kebutuhan tak terpenuhi. Kedua, faktor kesehatan. Ketika sakit menahun menimpa salah satu pihak, pasangan bisa kelelahan merawat, lalu muncul perasaan tidak adil. Ketiga, faktor perubahan zaman. Media sosial dan gaya hidup baru kadang membuat lansia ikut-ikutan mencari pelarian di luar rumah, dari pertemanan baru hingga godaan perselingkuhan. Hal-hal kecil yang semestinya bisa diatasi dengan kesabaran dan komunikasi, berubah jadi bara yang membakar rumah tangga.

Padahal, Nabi SAW telah mengingatkan keras :
“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak (perceraian).” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Mājah)

Beliau menanamkan benih sederhana agar kasih sayang tetap tumbuh. “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzī).

Jika senyum pada sesama muslim saja bernilai sedekah, tentu lebih utama lagi bila senyum itu diberikan pada pasangan hidup yang setia mendampingi kita puluhan tahun.

Di tengah banyak contoh perceraian, kita juga menyaksikan kisah indah pasangan yang tetap harmonis hingga akhir hayat. Di sebuah desa di Gresik, ada seorang kiai sepuh yang stroke bertahun-tahun, namun Bu Nyai tetap setia menyuapi, memandikan, dan menjaga marwah suaminya di depan para santri. Ketika Pak Kiai wafat, Bu Nyai berkata lirih: “Alhamdulillah, saya bisa menemani beliau sampai pintu surga.” Kisah seperti ini mestinya menjadi teladan, bahwa cinta sejati tidak luntur oleh uban dan sakit, tapi justru bertambah indah karena dilingkupi kesabaran.

Maka ada beberapa langkah yang bisa menjadi pagar agar cinta tak lapuk dimakan usia. Pertama, menjaga komunikasi dengan penuh kelembutan. Jangan pernah menganggap remeh obrolan kecil. Justru canda ringan, sapaan hangat, atau sekadar bertanya “sudah makan?” bisa menjadi perekat yang menambal retakan-retakan kecil.

Kedua, jangan pernah berhenti memberi makna. Setelah anak-anak mandiri, banyak pasangan merasa rumah sepi dan hidup kehilangan tujuan. Inilah saat yang tepat untuk menumbuhkan proyek bersama: menunaikan ibadah haji, mengasuh cucu, berkebun di halaman, atau mengelola usaha kecil yang bisa dijalani berdua. Hidup bersama tak boleh kehilangan arah, sebab menikah bukan hanya soal membesarkan anak, tetapi juga menemani jiwa hingga tua.

Ketiga, rawatlah cinta dengan ibadah. Shalat berjamaah, saling mendoakan dalam tahajud, atau membaca Al-Qur’an bersama dapat menghadirkan keintiman spiritual yang lebih kokoh daripada hubungan yang hanya bertumpu pada kesenangan duniawi. Sebab ibadah menyalakan kembali kesadaran bahwa pasangan kita adalah amanah Allah, bukan sekadar teman hidup.

Dalam Al-Qur’an, Allah Swt menegaskan bahwa pasangan adalah libās—pakaian bagi satu sama lain: pelindung, penutup aib, sekaligus penghias hidup. Maka jangan lepaskan pakaian itu di tengah dinginnya malam tua, melainkan rangkul ia erat-erat sampai menuju keabadian.

Akhirnya, pernikahan di usia senja mestinya menjadi pelabuhan tenang, bukan badai terakhir. Islam telah memberi panduan lengkap bagaimana merawat cinta hingga akhir hayat. Tinggal kita, apakah mau merawatnya dengan senyum, kesabaran, dan ibadah, atau membiarkan hal-hal kecil menggerogoti kebersamaan.

Semoga Allah Swt menjaga rumah tangga kita, menuntun kita hingga tua dalam kasih sayang, dan mempertemukan kembali dengan pasangan kita kelak di surga-Nya. Āmīn yā Rabbal ‘ālamīn.

*Penulis adalah KH. Ahmad Chuvav Ibriy, Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik.