Kurikulum Berbasis Cinta vs Kekerasan Seksual

0
4
Foto: KH. Ahmad Chuvav Ibriy*. (ist)

OPINI – Kekerasan seksual di sekolah adalah persoalan serius yang kerap terabaikan. Kini saatnya kita menghadirkan KBC, Kurikulum Berbasis Cinta, agar pendidikan benar-benar menjadi ruang yang menjaga, melindungi, dan memuliakan setiap anak.

Dalam peta tiga persoalan mendasar dunia pendidikan, intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual, dosa yang terakhir ini sering kali justru paling tersembunyi. Jika intoleransi bisa terukur lewat survei, dan perundungan kadang tampak dalam interaksi sehari-hari, maka kekerasan seksual di sekolah lebih banyak hidup dalam bisikan, tertutup oleh rasa malu dan takut.

Padahal, dampaknya sungguh besar. Korban kekerasan seksual tidak hanya terluka secara fisik, tetapi juga berisiko mengalami trauma psikologis yang panjang. Data Kemendikbudristek melalui Asesmen Nasional tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 34,5 persen peserta didik, atau satu dari tiga anak, berpotensi mengalami kekerasan seksual. Angka ini hanyalah gambaran awal dari persoalan yang ada, karena banyak anak masih memilih diam dan belum berani mengungkapkan pengalaman mereka.

Fenomena ini lebih mengerikan ketika kita sadar bahwa pelakunya tidak selalu orang asing. Banyak kasus justru melibatkan guru, pembina, atau kakak kelas—orang-orang yang semestinya menjadi teladan. Di sinilah letak persoalan mendasar dunia pendidikan, institusi yang semestinya memanusiakan, justru bisa berubah menjadi ruang yang merendahkan martabat manusia.

Sayangnya, respons sekolah masih sering normatif, menutup rapat-rapat, menyelesaikan secara kekeluargaan, atau sekadar memindahkan pelaku ke lembaga lain. Alih-alih melindungi korban, langkah ini justru memperparah penderitaan. Pendidikan pun berisiko menyimpang dari tujuan luhurnya, menjadi ruang yang rawan kompromi demi menjaga ‘nama baik’.

Kekerasan yang Menyisakan Luka Panjang

Kekerasan seksual di sekolah memiliki karakteristik berbeda dari bentuk kekerasan lainnya. Ia tidak hanya menimbulkan rasa sakit sesaat, melainkan menciptakan luka batin yang sulit sembuh. Banyak korban mengalami depresi, kehilangan semangat belajar, bahkan memutuskan berhenti sekolah. Dalam jangka panjang, trauma ini bisa memengaruhi kepercayaan diri, hubungan sosial, hingga masa depan mereka.

Kita sering membayangkan sekolah sebagai “rumah kedua”, tempat anak tumbuh dengan aman dan bahagia. Namun realitas pahit membuktikan sebaliknya. Bagi sebagian anak, sekolah justru menjadi ruang yang menakutkan. Dan yang lebih memilukan, banyak korban bahkan tidak berani menceritakan peristiwa yang dialami, karena khawatir disalahkan atau tidak dipercaya.

Saatnya KBC Hadir

KBC diharapkan hadir di sini sebagai jawaban. Pendidikan yang berangkat dari cinta tidak akan membiarkan seorang pun anak kehilangan harga diri. Ia mengutamakan keberanian membuka kasus, melindungi korban tanpa stigma, dan memberi sanksi tegas pada pelaku tanpa kompromi.

KBC juga menuntut sekolah untuk membangun sistem pencegahan. Pertama, memberikan pendidikan kesehatan reproduksi yang sesuai usia, agar anak memiliki kesadaran tentang batas tubuhnya dan tahu cara berkata “tidak” ketika merasa terancam. Kedua, menyediakan kanal aduan yang aman dan rahasia, di mana siswa bisa melapor tanpa takut mendapat label negatif. Ketiga, memastikan ada konselor profesional yang berpihak pada korban.

Jika langkah ini dijalankan, maka sekolah akan benar-benar menjadi ruang yang aman—bukan hanya dalam slogan, tetapi dalam praktik nyata.

Mengubah Budaya Diam

Masalah paling mendasar dari kekerasan seksual adalah budaya diam. Banyak pihak lebih memilih diam dengan alasan menjaga nama baik sekolah. Bahkan ada orang tua yang menasihati anaknya untuk tidak bersuara, karena khawatir jadi bahan omongan tetangga, pada akhirnya, pelaku sering kali tetap bebas, sementara korban harus memikul beban seorang diri.

KBC menolak logika seperti itu. Menjaga nama baik sekolah tidak boleh mengorbankan anak-anak. Justru keberanian mengungkap kasus dan melindungi korban akan membuat masyarakat lebih percaya pada lembaga pendidikan tersebut. Transparansi adalah bentuk cinta yang nyata: cinta kepada anak, cinta kepada keluarga, dan cinta kepada masa depan bangsa.

Di tengah luka yang mendalam, kita perlu berbisik penuh harapan kepada para korban: kalian tidak sendiri. Luka itu memang nyata, tetapi hidup kalian tidak berhenti di sana. Masih ada ruang untuk bangkit, masih ada tangan yang siap merangkul, dan masih ada masa depan yang bisa kalian raih. Sekolah, masyarakat, dan negara berkewajiban menghadirkan cinta itu, agar setiap korban bisa kembali menatap hari esok dengan kepala tegak dan hati yang utuh.

Penutup

Sudah saatnya kita bersepakat, intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual bukanlah persoalan sepele dalam dunia pendidikan. Ketiganya merupakan penyimpangan serius dari cita-cita luhur bangsa. Upaya bersama perlu dilakukan untuk menghentikan hal ini, salah satunya melalui ikhtiar KBC, Kurikulum Berbasis Cinta.

Pendidikan sejati adalah pendidikan yang membuat anak merasa dicintai, dihargai, dan dilindungi. Jika cinta itu hilang, sekolah berisiko berubah menjadi bangunan tanpa makna yang membuat anak merasa tertekan. Namun jika cinta itu hadir, sekolah akan menjelma taman yang menumbuhkan, tempat di mana setiap anak bisa tumbuh menjadi manusia utuh.

*Penulis adalah KH. Ahmad Chuvav Ibriy, Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik, serta Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik