Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan RI: Amanah dan Keadilan Sosial

0
4
Foto: KH. Ahmad Chuvav Ibriy , Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik sekaligus Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik (Zainal/cakrawalamuslim)

OPINI – 80 tahun Republik Indonesia merdeka. Sebuah perjalanan panjang yang diwarnai darah, air mata, dan doa para pahlawan. Pertanyaannya sekarang: apakah kemerdekaan ini benar-benar dirasakan seluruh rakyat, terutama mereka yang paling membutuhkan?

Biasanya, saat peringatan 17 Agustus, kita disuguhi upacara, parade, dan simbol-simbol nasional yang indah. Semua itu penting, namun kemerdekaan sejati lebih dari ritual dan simbol. Ia hidup ketika negara benar-benar mendengar rakyatnya, memberi ruang partisipasi, dan menjamin hak serta kesejahteraan seluruh warga.

Temuan terbaru dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membuka borok ini dengan terang-benderang. Ada 27.932 pegawai BUMN, 7.479 dokter, dan 6.000 penerima bansos yang bekerja sebagai eksekutif dan manajerial. Bahkan, data itu juga menunjukkan sejumlah penerima bansos adalah mereka yang memiliki rekening jumbo atau terlibat transaksi judi online.

Ini bukan sekadar kelalaian teknis. Ini adalah gambaran dari rapuhnya sistem dan runtuhnya moral publik. Bansos seharusnya menjadi tali penyelamat bagi warga yang benar-benar kesulitan makan, membayar sekolah anak, atau sekadar bertahan hidup. Tetapi kenyataannya, bantuan itu jatuh ke tangan orang-orang yang penampilannya parlente, gajinya besar, dan tak tahu malu mengantongi hak orang miskin.

Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah, nyawa, dan doa para pendahulu kini diuji oleh ketidakadilan yang nyata.
Islam menegaskan bahwa keadilan adalah fondasi masyarakat yang baik. Allah Swt berfirman:

﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴾

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran agar kamu selalu ingat.” (QS. An-Naḥl [16]:90)

Keadilan sosial bukan slogan kosong. Ketika bansos bocor, rakyat yang seharusnya menerima haknya kehilangan akses, sementara sebagian orang yang tidak berhak justru mendapat keuntungan. Ini adalah pengkhianatan terhadap amanah kemerdekaan, sebuah luka moral yang harus kita akui dan perbaiki.

Kemerdekaan bukan hanya hak generasi terdahulu. Ia adalah amanah yang harus dijaga oleh kita semua, menuntut kejujuran, kepedulian, dan kerja nyata. Peringatan 80 Tahun Kemerdekaan seharusnya menjadi momen refleksi, bukan hanya seremoni. Apakah hak rakyat kecil sudah terpenuhi? Apakah pembangunan memperhatikan aspirasi mereka yang benar-benar membutuhkan? Jika jawabannya belum, berarti kemerdekaan ini belum sepenuhnya hidup.

Lebih dari itu, kemerdekaan sejati menuntut ruang partisipasi rakyat. Negara bukan sekadar pengelola hukum dan simbol, tetapi pendengar aktif aspirasi rakyat. Musyawarah, mendengarkan kritik, dan menyerap aspirasi adalah inti dari demokrasi yang sehat. Ketika rakyat merasa didengar, pembangunan menjadi lebih adil, berkelanjutan, dan bermakna.

Kita tidak bisa hanya merayakan bendera yang berkibar. Kita harus mengisi kemerdekaan dengan iman, akhlak, dan kerja nyata. Memberantas korupsi, menutup celah kebocoran bansos, dan menegakkan keadilan sosial bukan pilihan; itu kewajiban moral dan religius.

Kemerdekaan menuntut kesadaran kolektif. Generasi muda, kyai, tokoh masyarakat, guru, pejabat—semua harus aktif, bukan pasif. Kreatif dalam solusi, bukan sekadar menunggu. Bila setiap orang merasa menjadi bagian dari pembangunan, kemerdekaan tidak hanya hidup di buku sejarah, tetapi hidup di hati rakyat setiap hari.

Sebagai umat Islam, tanggung jawab ini lebih berat. Kita diajarkan untuk berlaku adil, menjaga amanah, dan peduli pada sesama. Nasionalisme sejati menurut Islam adalah menjaga hak rakyat, menegakkan hukum, dan memastikan kemakmuran merata. Tanpa nilai-nilai ini, Bendera Merah Putih hanyalah kain, dan kemerdekaan hanyalah formalitas.

Selain itu, kemerdekaan bukan hanya simbol, tapi aksi nyata sehari-hari: memastikan anak-anak miskin bisa sekolah, pekerja mendapatkan upah layak, lansia tidak kelaparan, dan setiap warga negara bisa hidup aman dan sejahtera. Semua itu adalah bagian dari menghidupi kemerdekaan dengan tanggung jawab.

Mari jadikan momentum 80 Tahun Kemerdekaan sebagai momen refleksi dan perbaikan: negara yang mendengar rakyat, rakyat yang peduli negara, dan keadilan yang ditegakkan—itulah kemerdekaan yang hakiki. Dengan kesadaran ini, kemerdekaan ke-80 bukan hanya seremoni, tetapi momen penguatan moral, sosial, dan spiritual.

Kemerdekaan bukan hanya simbol di tiang bendera. Ia hidup dalam keadilan sosial, perhatian terhadap rakyat kecil, dan ruang partisipasi untuk semua. Seorang kyai, guru, pemuda, tokoh masyarakat, dan pejabat—semua memiliki tanggung jawab.
Allah Swt berfirman:

وامرهم شورى بينهم

“….sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka” (Asy-Syūrā [42]:38)

Musyawarah dan mendengarkan rakyat adalah inti dari nasionalisme Islami. Negara yang benar-benar mendengar rakyat tentu menciptakan keamanan, kesejahteraan, dan keadilan.

Bagi yang berhak menerima bantuan, hak itu harus dijamin. Bagi negara dan pemerintah, amanah harus dijaga. Dan bagi kita semua, kemerdekaan adalah tanggung jawab yang harus diisi dengan iman, akhlak, dan kerja nyata.

Mari kita jadikan kemerdekaan ini bukan sekadar perayaan seremonial, tetapi nyawa dalam setiap tindakan kita. Setiap langkah kecil untuk menegakkan keadilan, setiap upaya memperjuangkan hak yang tertindas, dan setiap kepedulian terhadap sesama adalah cara kita menyalakan api kemerdekaan yang sejati.

Semoga dengan kesadaran ini, kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 tahun bukan hanya angka di kalender, tetapi hidup dalam hati setiap warga negara, menjadi negeri yang adil, makmur, dan penuh keberkahan, sebagaimana cita-cita para pahlawan yang rela berkorban demi masa depan kita semua. Sehingga terwujudlah : Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafūr, Negeri gemah ripah loh jinawe ; tentrem kertha raharjo.

*Penulis adalah KH. Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik sekaligus Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik.