Oleh : Abdul Chalik
Dua hari terakhir, saya ditelpon/diwawancarai oleh media mainstream;radio, media cetak dan online soal isu bubarkan MUI yang digaungkan oleh satu-dua tiga orang. Teman-teman media telpon karena kapasitas saya sebagai dosen Ilmu Politik untuk merespon isu kekinian soal dinamika politik Islam tanah air. Mereka tidak tahu bahwa hampir satu dasawarsa terakhir saya juga ikut-ikutan bergiat di MUI. Kalau saja mereka tahu, mereka tidak akan telpon saya karena dianggap analisisnya bias untuk menghindari conflict of interest.
Sebagai dosen dan analisis politik, saya punya kewajiban akademik untuk menjawab berbagai pertanyaan media berdasarkan disiplin keilmuan yang saya tekuni. Sementara sebagai pengurus MUI, saya punya tanggung jawab kelembagaan untuk meluruskan dan memberikan pencerahan agar pandangan dan pemahaman tentang MUI tidak salah sehingga terhindar dari distorted opinion yang dapat mengarah pada abuse of institution.
Munculnya tagline #Bubarkan MUI serta beberapa pernyataan yang menyudutkan organisasi merupakan pemikiran yang distorted. Karena adanya salah seorang pengurus organisasi yang diduga melakukan kesalahan, maka muncul sikap emosional publik supaya MUI dibubarkan. Publik sulit membedakan nalar organisasi dan prilaku pengurus dan anggota. Seolah jika seorang yang melakukan kesalahan atau kejahatan, maka organisasi yang menaunginya perlu dibubarkan. Persis seperti nalar, jika ada tikus yang mengganggu di rumah, maka rumah dan seisinya harus dibakar. Begitu pula pula ketika ada seorang jenderal polisi melakukan korupsi dan kejahatan narkoba, maka intitusi Polri juga dibubarkan. Begitu pula ketika seorang menteri divonisbersalah dan masuk penjara, bukan berarti institusi kementriannya lantas dibubarkan. Tentu saja nalar tersebut tidak benar.
Dalam konteks organisasi manapun, tidak ada hubungan prilaku pengurus yang bersifat personal dengan organisasi. Ketika seorang pengurus organisasi yang kebetulan seorang pebisnis, maka tidak ada hubungan antara keuntungan dan kerugian bisnisnya dengan organisasi yang diikutinya. Ketika seorang dosen seperti saya juga tidak ada hubungannya dengan organisasi apapun di luar urusan perdosenan. Begitu pula, ketika ada pengurus MUI yang kebetulan sebagai kyai, ustadz atau penceramah kemudian melakukan keseleo lidah,atau kesalahan, maka tidak bisa kesalahan tersebut ditimpakan pada MUI kecuali yang bersangkutan berceramah dengan mendapatkan mandat dari organisasi. Karena pada kenyataannya, banyak pengurus MUI sekaligus sebagai dosen, guru, kyai, ASN, politisi, pebisnis, wartawan dan tokoh masyarakat.
MUI merupakan wadah umah Islam. Organisasi ini merupakan hasil musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada tahun 1975. Mereka mewakili NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Negara membutuhkan kehadiran MUI sebagai representasi para ulama. Negara dan pemerintah memerlukan mitra, pertimbangan dan masukan dari ulama’ untuk menyusun kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan Islam. Jika konsultasinya pada satu atau dua organisasi keagamaan, dikhawatirkan organ lain cemburu dan menuntut pelibatannya. Jika konsultasi pemerintah pada perorangan, dikhawatirkan legitimasi pendapatnya tidak memperoleh dukungan luas. Begitu pula, ketika pemerintah memerlukan dukungan pertimbangan hukum, dasar yang digunakan bukan hasil Bahsul Masail atau Tarjih Ormas, melainkan Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Meskipun kekuatan Fatwa tidak mengikat dan tidak menjadi keharusan untuk menjalankannya akan tetapi representasi fatwa dibutuhkan untuk menghadapi kebuntuan hukum yang dapat diterima oleh umat secara luas.
Posisi MUI sangat strategis sebagai shodiqul hukumah, sebagai mitra pemerintah dalam menyusun kebijakan strategis, misalnya dalam pelaksanaan sertifikasi halal dan penyusunan kebijakan tentang ekonomi syariah. Pertumbuhan industri makanan yang begitu besar dan luas memerlukan pendampingan dan pengujian dari lembaga keagamaan seperti MUI, agar makanan-minuman terjamin kehalalannya, dan ummat tidak dirugikan. Sementara pertumbuhan lembaga keuangan syariah seperti bank, koperasi, simpan pinjam, BMT memerlukan sertifikasi baik dari aspek sistem, produk hingga penyiapan sumber daya manusia. Begitu kuatnya posisi MUI sehingga nama lembaga ini disebut secara ekplisit dalam undang-undang.
Sesunggunya peran MUI lebih dari sekedar khadimul ummah (pelayan ummat), shodiqul hukumah (mitra pemerintah), himayatul ummah dan islahul ummah (perbaikan dan peningkatan kualitas ummat). Peran MUI menjadi penjaga gawang yang berada di avant garde dalam menjaga keberagaman Islam di Indonesia, sekaligus dalam menjaga Bhinneka Tunggal Ika. Tidak dapat dibayangkan jika 220 juta umat Islam Indonesia memiliki ego sektoral praktik keagamaan taassub dengan klaim paling benar, paling sahih, paling kuat, sementara menganggap yang lain salah. Tidak dapat dibayangkan pula manakala sikap taassub tersebut diintervensi oleh kekuatan politik yang bisa jadi kompor untuk memperkuat keegoannya.
Karena itu, MUI hadir untuk menyatukan keragaman tersebut atau minimal mengurangi klaim paling benar dan paling sahih. MUI dilahirkan untuk menjembatani kepentingan negara dan ummat agar berjalan secara bersamaan sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa. Negara sangat butuh dan berhutang budi pada peran MUI yang banyak memberikan solusi. Karenanya, setiap pernyataan yang berkaitan dengan ‘Bubarkan MUI’ itu sama saja dengan menyatakan bubarkan ‘negara’. Negara harus mengintervensi dengan meminta pertanggungjawaban atas komentar yang tidak produktif tersebut. Karena jika ada pembiaran, maka komentar tersebut bisa liar dan negara bisa dirugikan.