Berserah Diri Bukan Berarti Menyerah

0
359

Oleh Abdul Chalik*

Vaksin sudah, menerapkan Prokes 5 M sudah, disiplin diri sudah tapi mengapa masih terpapar Covid? Baca Ratibul Hadad sudah, bacaan Bismil tiap bada sholat sudah, disuwuk ke beberapa Kyai sudah, tapi tetap saja terpapar. Bahkan Kyai yang nyuwuk juga meninggal karena Covid, beserta istri dan anaknya. Konon Kyai lain yang tukang suwuk Covid juga meninggal, kabarnya mencapai ratusan. Itu yang saya baca dari media dan postingan tiap hari di medsos. Tidak hanya di Madura yang sempat heboh beberapa minggu lalu, tetapi juga seantero jagad Indonesia. Astaghfirullah. Bahkan dokter-dokter yang tidak sekedar sudah tervaksin dan selalu pakaian dinas yang lengkap dengan APD-nya juga meninggal, bersama beberapa Nakes lain. Gila nih Covid, sama tukang suwuk sajah dan peracik obat berani nantang, apalagi yang kayak kita-kita yang jauh dari kesan disiplin dan selalu mau menantang kebesaran Tuhan.

Setelah ikhtiar lahir batin dilakukan dan tidak henti-hentinya doa dipanjatkan, tetapi tetap saja Covid tak mau lari dari kanan-kiri-depan dan belakang kita. Selalu menghantui. Salah sedikit maka dia akan beramai-ramai mendekat, dan pasti ujung-ujungnya diswab, pcr, positif, isolasi, masuk rumah sakit sambil antri ICU dan oksigen dan pilihannya cuma dua;pulang ke rumah (lagi) atau ke rumah abadi. Kasihan para dokter dan Nakes, mereka maunya membantu justru banyak berujung di rumah abadi. Kasihan para tukang suwuk, maunya mendoakan namun akhirnya dia yang jadi pesakitan. Kasihan para Bupati, pejabat pembuat kebijakan kesehatan, maunya mereka pingin menyelamatkan banyak orang justru dirinya yang tidak selamat. Dan bentuk kasihan lain untuk polisi dan tentara, relawan dan keluarganya, maunya membantu justru ambruk juga. Padahal mereka yang membantu sudah dengan kesiapan mental dan fisik prima, dilatih menghadapi kedaruratan, diberi makanan-vitamin yang komplit, dan jimat-jimat dibawa serta ke medan peperangan, toh tembus juga oleh Covid.

Apakah dengan situasi yang sedemikian rupa, kita lantas menyerah? Jawabannya ‘tidak’. Kita tak boleh kalah dengan Covid. Dia hanyalah makhluk kecil, superkecil yang yang tidak terlihat kecuali dengan peralatan canggih. Datangnya baru belakangan ajah. Dia juga makhluk Tuhan—yang sengaja hadir untuk menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang bisa merubah ‘kebiasaan’ manusia sebagaimana Iblis yang juga diciptakan sedemikian rupa oleh Allah. Bedanya, Iblis tidak empiris karena berada di alam metafisik, sementara Covid berasa di alam fisik. Anggap saja Covid seorang Iblis dengan wujud berbeda yang tidak saja mengganggu tetapi ingin ‘merontokkan keimanan’ yang sudah mapan. Bagaimana tidak, seorang yang sudah ikhtiar lahir batin justru dibabat habis oleh Covid termasuk para dokter dan tukang suwuk. Lari ke lubang semutpun tetap ajah diburu-buru Covid. Sehingga akan muncul pikiran, “ee..apa gunane obat, oksigen, prokes, suwuk, wirid toh akhirnya kalap juga”. Pikiran buset sangat mungkin terjadi atas ketidakberdayaan menghadapi Iblis ini.

Dalam situasi seperti ini begitu pentingnya kekuatan spritual. Kita meyakini adanya kekuataan ‘supernatural’ yang dapat merubah apapun termasuk taqdir, dialah zat Allah SWT. Covid adalah ciptaan-Nya sebagaimana makhluk yang lain, sementara yang ia goda makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna. Tidak ada cerita gajah mati ketubruk ayam. Tidak pernah dengar cerita rumah rubuh karena ditubruk kucing. Kalau pun ada, berarti ada ayam dan kucing ‘luar biasa’ yang mengajak kita untuk merenung sejenak. Jangan-jangan ayam dan kucing itu malaikat Izrail yang sengaja dikirim oleh Allah untuk mengingatkan para hamba yang telat sholat atau bayar zakat, terlalu sibuk dengan urusan dunia? Covid jangan-jangan para malaikat yang memberikan early warning bagi kita agar tidak terlena dengan urusan dunia aja.

Dalam situasi tertentu memang perlu memperkuat keimanan dengan ‘berserah diri’ pada Allah. Dalam bahasa al-Qur’an disebut tawakkal. Berserah diri bukan berarti ‘menyerah’ begitu saja, sebagaimana pencopet yang datang ke kantor polisi karena takut digebuki massa dan tidak ada lagi ‘peluang’ untuk melarikan diri. Berserah pada Allah dengan meyakini bahwa virus ini sebagai cobaan bagi kaum beriman agar kembali ke jalan Allah. Dialah yang menciptakan virus dan Dialah yang akan melenyapkannya. Berserah diri berarti menempatkan hati, pikiran dan tindakan semata di jalan Allah. Berserah diri termasuk menjalankan amalan dan ikhtiar lahir dengan menerapkan Prokes 5 M yang ketat.

Berserah diri tetap membangun rasa optimisme tinggi. Meyakini sepenuh hati bahwa kita pasti keluar dari jeratan covid. Percayalah bahwa secara pribadi kita mampu, dan ada pemerintah yang paling bertanggung jawab untuk mengatasinya. Rasa optimis secara terus menerus harus dihembuskan dalam pikiran dan hati. Kita tak boleh angkat kain putih untuk menyerah ‘kalah’ sebagaimana seorang residivis yang kena peluru polisi di kaki.

Sebagai muslim diajarkan untuk optimis, tidak putus asa dalam menerima cobaan. “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah” (QS, 39:53). Kita diperintah untuk terus berusaha untuk mendapatkan apa yang kita inginkan (QS. Al-Najm:39). Tiap manusia pasti mati, tetapi kita masih diberi kesempatan untuk berusaha agar kematian tidak terjadi secara sia-sia. “Tiap-tiap yang benyawa pasti mati”, (QS. Al-Anbiya’:35). “Setiap manusia punya ajal (batas waktu”. Begitu datang ajal datang tidak dapat diundur atau dimajukan” (QS. Al-A’raf:34). “..(Allah sudah menetapkan dalam kandungan) tentang taqdir, rejeki, kematian dan amal” (HR. Bukhari-Muslim).

*Penulis Adalah Ketua MUI Gresik (Bidang Dakwah), Dosen UINSA dan penyintas Covid-19

Tonton Video: Rahasia 1 Keluarga Sembuh Dari Covid 19